Thursday, June 11, 2015

Kreatif Dari Lahir?

Beberapa hari kemarin, saya berkesempatan jumpa dengan salah satu orang muda paling kreatif di Aceh. Dan itu bukan sekedar memuji karena kenal, tapi prestasinya memang menunjukkan bahwa sebutan itu layak disematkan pada seorang Hijrah Saputra.

Terus terang saya tidak kenal dekat dengan Hijrah, tapi jadi lumayan sering berinteraksi sejak saya belajar nge-blog dan bergabung dengan Gam Inong Blogger, itu pun hanya di media sosial. 

Dalam dunia 'training'pun kelas kami berbeda,Hijrah termasuk trainer dengan bintang, bersinar dan dikenal sampai nasional. Saya sih kelas kampus aja. Bukan merendah, atau merasa rendah diri, ini kan bicara fakta.

Dan kalau boleh jujur, sebenarnya selama ini saya sendiri kebingungan dengan jalan yang ingin saya tempuh. Saya trainer, saya graphic designer, saya nulis, saya jadi reporter, saya (sempat) buka cafe, saya pernah usaha sayur mayur, dagang bakso, burger, sampai roti bakar. Semuanya, sebagian besar malah dijalani sekaligus, hasilnya ya serba tanggung.

Sekitar pertengahan 2013, saya sempat jumpa juga dengan Hijrah. Di depan outlet Piyoh di Ulee Kareng, Banda Aceh. Saya tidak ingat apa yang kami bicarakan, tapi sejak hari itu saya mulai berpikir tentang semua pencapaian saya yang serba tanggung. Tidak ada yang betul-betul bersinar.
Mulai terbentuk ide untuk fokus pada satu atau dua hal saja.

Akhir tahun itu, saya mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai tenaga kontrak di Dinas Perhubungan. Alasannya sederhana, saya lelah dengan birokrasi, gaji yang habis hanya untuk bolak-balik Banda Aceh-Takengon, dan 'mati otak'. Entah ada apa antara saya dan birokrasi dinas, yang jelas sejak mulai berkerja di kantor, mendadak kreativitas design saya macet. Bahkan untuk membuat spanduk sederhana yang biasanya hanya membutuhkan waktu 30 menit, mendadak meningkat jadi seharian, dengan hasil yang (meminjam istilah Afdhal, teman saya yg pemilik percetakan), 'Kalau sedang kurang sehat, istirahat aja dulu bang. Gak usah maksain buat design.'

Awal 2014, saya pindah, menetap di Takengon. Supaya dekat dengan keluarga, dan memutuskan fokus di rumah. Menjadi Ayah Rumah Tangga. Rencananya, malam hari setelah anak-anak tidur, saya akan fokus pada dua hal, design dan menulis.

Mantap di atas kertas. Kenyataannya justru berbeda. Perubahan rutinitas mengejutkan saya. Saya bahkan nyaris tidak menghasilkan tulisan apapun selama satu tahun setelahnya. Blog memang mulai berjalan, tapi naskah-naskah novel, macet total atau merayap tertatih-tatih.

Bukan hanya itu. Diam-diam merindukan dunia training, saya mulai membuat training di Takengon. Dan hasilnya malah menambah rasa jenuh. Semuanya gagal, bahkan berlipat ganda gagalnya. Saya akhirnya sampai pada titik yang membuat saya memutuskan berhenti saja. Dengan sisa semangat saya membuat training terakhir, sekaligus perpisahan dengan dunia yang pernah membesarkan nama saya, walaupun tidak sampai sebesar Mario Teguh. Hanya ada 3 peserta, dan 5 orang panitia yang hadir.
Saya patah hati.

Satu-satunya yang berjalan setelah itu hanya komunitas menulis yang bertemu dua minggu sekali. Itupun berjalan santai, karena memang progresnya tidak bisa dipaksakan.

Waktu itu takdir bekerja dan mulai mempengaruhi jalan saya. Tanpa alasan saya keluyuran, dan menemukan buku Creative Junkies dan 101 Creative Notes, di bagian obral di salah satu toko buku di Banda Aceh. Saya bersyukur buku itu rusak sehingga diobral, karena jadi terjangkau untuk saya. 

Membacanya, saya serasa ditampar, berkali-kali. Saya pernah merasa saya kreatif tapi kenyataannya sama sekali tidak, saya hanya ketularan kreatif. Karena berada dilingkungan yang kreatif, ya jadi ikut-ikutan kreatif. Dan begitu saya di cabut dari lingkungan yang kreatif itu, hilang semuanya. Saya kreatif tapi tergantung orang lain. Dan itu salah.

Kreatif tidak pernah menjadi bakat bawaan lahir. Kreatif adalah kemampuan yang diasah dan dikembangkan. 

Awal tahun kemarin, saya mulai dengan menilai segala yang saya kerjakan sejak pindah. Saya sampai pada kesimpulan selama ini, saya lalai mengendalikan 'masukan' ke otak. Saya larut dengan masukan jelek. Saya membiarkan diri saya sepakat dan ikut ketika teman-teman berkeluh kesah betapa susahnya membuat kegiatan atau melakukan perubahan disini. Membiarkan kata-kata itu meresap, sehingga akhirnya saya jadi percaya penuh, bahkan mulai kehilangan semangat. Karena toh dalam pikiran, sudah tertanam pernyatan betapa susahnya, betapa sulitnya, pasti akan gagal. 

Tapi saya merasa punya kesempatan. Masih ada jalan. Saya lihat ada teman-teman di komunitas menulis, yang masih bersemangat mengejar mimpi mereka jadi penulis. Saya melihat itu sebagai peluang yang disiapkan Allah. Yang menghadirkan mereka dalam hidup saya. Saya ajak kawan-kawan untuk menuliskan segala hal tentang Gayo, lalu menerbitkannya secara indie, dan mereka menerimanya dengan bersemangat. Padahal hitung punya hitung, kami harus merogoh kantong pribadi sekitar tiga ratus ribu rupiah per orang. Semangat yang menular kembali ke saya. 

Semangat yang membuat saya menerima ajakan Kusni, teman istri saya, untuk bergabung di komunitas yang didirikannya Takengon English Community, TEC. Dan disitu saya berjumpa lagi dengan orang-orang (yang lagi-lagi) bersemangat besar. Tertawa bareng belajar bahasa inggris, saling memperbaiki ucapan, dan nekat-nekat aja main tabrak bicara bahasa inggris seadanya.

Lalu kemarin, Hijrah yang berkunjung ke Takengon menghubungi. Saya langsung ajak teman-teman dari TEC dan RiKoKeTa, komunitas menulis kami, untuk menjumpai Hijrah. Saya yakin akan dapat banyak ilmu bermanfaat. Dan pertemuan yang sekitar satu jam itu memang jadi kado istimewa. Ya betul kado istimewa, hari itu memang hari ulang tahun saya.

Kado berupa wawasan, pengalaman. Begitu banyak hal yang disampaikan, yang mengisi bagian kosong dari semangat kami.

"Selalu ada haters yang akan mencela tindakan kita, atau teman yang tidak mau terlibat padahal awalnya seperti mau mendukung. Ya jalanin aja. Buang waktu kalau memfokuskan ke haters atau ke yang tidak mau ikutan. Banyak kok kegiatan yang kami buat, yang menjalankannya hanya satu dua. Kita jalan aja terus."

Salah satu yang disampaikan, dan membekas. Saya ingat, saya, Kusni, Ayi saling pandang, nyengir. Karena itu memang kondisi kami selam ini. Jatuh semangat karena sibuk fokus ke haters. Dan banyak lagi obrolan santai yang isinya adalah ilmu bermanfaat.

Berteman dengan orang kreatif memang bermanfaat. Akan mempengaruhi kita untuk ikut kreatif. Tapi satu yang paling membekas dalam pertemuan kemarin adalah ucapan sambil lalu, ketika membahas tentang kurangnya tempat yang menyajikan kuliner tradisional gayo. Hijrah melihatnya sebagai kesempatan. Saya juga, tapi tanpa sadar berbarengan saya sekalian melihat sisi kesulitan. Sehingga sering terucap kata 'sulitnya di sini'.

"Abang ini, kesulitan terus." Itu celetukan Hijrah sambil tertawa.

Jleb. Kalimatnya menancap. Saya mendadak berpikir, kenapa saya fokus ke kesulitan terus. Memangnya ada yang tidak punya kesulitan untuk dikerjakan? 

Sepanjang perjalanan pulang saya terus memikirkan celetukan itu. Malamnya setelah istri dan anak-anak tidur, saya membuka kembali buku 101 Creative Notes, saya lumayan hafal isinya, dan malu sendiri. Cuma hafal tapi lalai menerapkan. Saya membaca lagi tentang berbagai hal yang semestinya bisa membuat kita jadi pribadi kreatif, dari kebiasaan membaca blog orang-orang yang kreatif sampai ke hal sederhana seperti mengganti di kantung mana kita meletakkan hp, kalau biasanya dikantung celana kanan, sekarang ganti ke kiri, membiasakan diri kita untuk tidak terbiasa dengan kebiasaan. Sehingga otak kita secara otomatis terbiasa dengan ide atau hal baru.

Buku itu memang bukan kitab agama, hanya catatan manusia biasa yang bahkan saya tidak tahu apakah agamanya sama dengan saya, tapi kebenaran soal kreatifitas yang disampaikannya bernilai universal. Menjadi kreatif adalah proses belajar, bukan bawaan lahir. 

Teringat cara sederhana yang dulu berhasil membuat saya merasa lebih fresh dalam berpikir, membuat aturan untuk tidak membaca surah atau ayat itu-itu saja ketika shalat. Perubahan sederhana yang ternyata besar efeknya, mendadak otak seperti bisa melihat hal-hal yang sudah ada, tapi selama ini terlewatkan.

Allah sudah mengatur dengan baik rencana untuk hambaNya. Hijrah yang menghubungi ketika datang ke Takengon,  Padahal kami bukan teman dekat. Dan berbagi wawasan, pada saat saya (dan kawan-kawan di sini) memang sedang membutuhkan.

Kesempatan yang sama memang tidak datang berulang kali, tapi kesempatan akan selalu ada bagi yang mau mencarinya.

Sekarang, cukup dulu menulisnya. Saatnya berbuat. 
  

  1. Inspiratif Yed. Aku juag pernah ketemu Hijrah, tapi baru sekali, itupun hanya sambil makan-makan saja. Tak sempat menyerap banyak ilmu darinya.

    ReplyDelete
  2. Jadi teringat pepatah lama "Berteman dengan penjual minyak wangi, terpercik juga harumnya."

    ReplyDelete
  3. Sip!! ternyata kasus kita sama ya bang. yudi akhirnya memberanikan diri bikin batik juga. gara2 dia juga tuh. hahaha
    ah kita mah gitu orangnya .. susah mulu

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah kami baca tulisan ini.
    T_T
    Ada kemiripan kisah. Now I feel nothing, no prestasi, no karya, thats not me.
    Apa syu harus jumpa bg Hijrah juga? Biar dapat ilmunya.

    ReplyDelete
  5. Bisa jadi syu. Intinya adalah ... pengendalian diri hehehehe.

    Kreatif itu diciptakan, dikembangkan, bukan warisan atau bawaan lahir. Balik lagi selalu pada pilihan kita. i was lost. Tapi untuk menapaki jalan lagi, selalu keputusannya di tangan kita. Orang lain bisa kasih peta, tunjukkan jalan, tapi yang menentukan mau jalan atau tidak, tetap kita.

    ReplyDelete

Start typing and press Enter to search