Friday, March 3, 2017

Kecanduan Training Motivasi



Tahun 2013 saya resmi memutuskan diri berhenti dari aktivitas sebagai trainer. Bukan hal luar biasa, secara saya memang belum sekelas Mario Teguh, dan mereka lainnya yang berlabel inspirator-motivator-karburator dan tor-tor lainnya. Saya malah tidak terlalu ingat bagaimana mulanya saya mulai diundang menjadi pemateri atau pembicara di berbagai seminar lokal, tingkat provinsi, dan beberapa diantaranya nasional.Rencananya sederhana, pindah ke Takengon, kota nan indah di salah satu puncak pegunungan Dataran Tinggi Gayo, menetap bersama keluarga -- istri dan anak-anak -- yang sudah cukup bersabar saya bolak balik Banda Aceh-Takengon sekian bulan dalam setahun, lalu fokus dengan impian menulis dan buka usaha kecil-kecilan di rumah sembari jadi Ayah Rumah Tangga.

Kenyataannya, saya masih juga diminta ngisi kelas-kelas motivasi, parenting, pengasuhan anak, desain, dll. Awal tahun kemarin baru akhirnya rencana pensiun terwujud. Tapi ada satu hal yang menarik. Dari jaman mengisi berbagai pelatihan atau pertemuan, yang berlabel motivasi selalu menjadi kegiatan dengan peserta melimpah.

Pelatihan atau pertemuan motivasi selalu penuh dihadiri peserta. Dari yang membayar tiket sampai yang cari jalan pintas dengan menjadi panitia. Penuh, tak jarang melebihi jumlah bangku yang tersedia. Soal siapa pemateri juga sering diacuhkan. Tidak perlu sekelas Mario Teguh, atau nama-nama hebat lainnya, cukup dengan mencantumkan label ‘Motivator Inspiratif’ (usahakan dari luar kota, karena kalau dalam kota biasanya unsur kenal mempengaruhi penilaian) maka peserta akan ramai.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa?

Banyak alasan, tapi satu ketika, pengalaman seorang teman -- maaf tidak bisa saya ceritakan -- membuat saya mendapat jawaban yang cukup mewakili sebagian besar alasannya. Kecanduan, ternyata itu salah satunya. Banyak peserta yang kecanduan sensasi harapan. Banyak yang kecanduan perasaan bersemangat, berenergi, percaya diri instant, dan janji semu bahwa semua hal bisa diraih dengan keyakinan bahwa kita bisa.

Sifat khas pelatihan/pertemuan motivasi itu satu. Menumbuhkan semangat dan percaya diri. Sayangnya banyak yang tidak sadar bahwa energi instant itu adalah sesuatu yang muncul karena dikondisikan. Coba perhatikan, semuanya menyajikan hal yang kurang lebih sama.

Pilihan kata yang bertabur kata kunci semacam: Kita Bisa, Anda Hebat, Kamu Luar Biasa, Kami Yakin Mampu, Generasi Dahsyat, Pribadi Berharga, dll. Pilihan musik dengan nada yang ceria, bersemangat, hentakan drum. Pilihan Video yang menampilkan kesuksesan, keberhasilan, atau kisah sedih yang dengan cepat beralih jadi kejayaan. Warna-warna cerah, kalaupun ada yang menampilkan kesedihan dan berwarna kelabu, dengan cepat akan berganti dengan yang meriah dan mewah. Dan beberapa hal lainnya.

Kita manusia ini adalah mahluk yang bergerak dengan kata kunci, dan itu bisa ditanamkan. Untuk peserta pelatihan, cara sederhanya dengan mengulang-ulang kata kunci yang ingin diingat. Bayangkan bila selama dua sampai tiga jam, otak kita dihujani kata-kata seperti itu, maka otomatis dlam durasi waktu itu kita akan mulai berpikir dengan menrujuk kata-kata kunci itu.

Hasilnya, seperti ekstasi. Sesaat kita akan merasa sangat bertenaga, sangat percaya diri. Tapi dalam hitungan hari, bahkan jam, semangat itu akan hilang. Umpamakan saja seperti menulis dengan kapur di atas batu, akan hilang dalam durasi waktu tertentu, karena kena hujan, angin, dll. Ketika hilang, otomatis (lagi) kita akan mencari. Dan cara tercepat, adalah dengan mengikuti pelatihan atau pertemuan motivasi (lagi). Lalu siklus itu akan berulang terus, lagi, dan lagi.

Bukan saya membenci training atau pertemuan motivasi, tapi dengan kenyataan bahwa sebagian hanya cara mencari uang, yang dengan cerdas memanfaatkan kebutuhan banyak orang akan semangat instant, akhirnya sebagian training/pertemuan motivasi yang betul-betul membangun percaya diri dan mengarahkan dengan tahapan yang panjang dan butuh usaha pun tenggelam bahkan nyaris hilang. Dan ujungnya, semua kegiatan berwarna motivasi yang serba instant, kegiatan begini hanya menjadi candu jenis baru.

Pelatihan-kelas-pertemuan motivasi sebenarnya adalah salah satu tahap untuk membangun diri kita. Bukan satu-satunya tahap. Agama saya, Islam, menganjurkan kita bergaul dan berteman dengan mereka yang baik. Agar setiap orang bisa saling menguatkan secara berkesinambungan. Tapi tetap saja kerja keras dan usaha harus dimulai dari diri sendiri. Saya rasa agama lain juga begitu.

Bila semangat instant seperti menulis dengan kapur di atas batu, yang namanya proses membentuk diri sebenarnya lebih sulit, seperti memahat batu. Kalau dalam dunia trainer ada istilah populer yang disadur dari bahasa Inggris. Pertama, kita yang menciptakan kebiasaan, lalu kebiasaan akan membentuk kita.

Kita harus bekerja keras untuk membiasakan diri berpikir dan bertindak baik. Positif, percaya diri, itu dibangun dengan susah payah, tidak ada yang mudah. Kita melatih diri kita untuk berpegang bahwa sebelum sukses, ada banyak jatuh yang berdarah-darah. Kita melatih diri dengan susah payah bahwa setiap kegagalan berarti kita masih kurang ilmu atau kurang kerja keras, sehingga wajib berusaha lagi lebih baik. Kita melatih diri dengan susah payah untuk mengamalkan bahwa berbaik sangka pada Allah itu adalah berusaha sebaik kita, lalu bersabar dengan hasilnya apapun itu. Dan beneran itu dilatih dengan susah payah.

Pada akhirnya, bagi mereka yang bersusah payah sudah memahat pola pikir itu, kita menemukan bahwa semangat kita yang maju mundur tidak akan pernah hilang lagi. Maju mundurnya masih, tapi ga akan hilang total. Sedangkan bagi yang tidak mau bersusah payah, mereka akan berakhir sebagai penghuni tetap bangku-bangku training motivasi, yang bersorak ceria saat kegiatan, pulang dengan gembira, tidur dengan mimpi bersalut emas permata, dan terbangun besok pagi dengan bingung, semangat sudah mulai turun lagi. Lalu bergegas mencari info training lainnya. Berputar disitu-situ saja. Tetap menjadi pecandu.

Post a Comment

Start typing and press Enter to search