Saturday, June 27, 2015

Bye Bye Blackbird 2

Source: pinterest.com
Pagi tadi saya bertekad untuk mencari rumah almarhumah Nana. Kemarin saat shalat Jum'at, saya bertemu teman, Aripin, dengan 'p' bukan 'f'. Dan pertemuan itu memang bukti bahwa tak ada yang namanyakebetulan di dunia ini. Segalanya terjadi dengan tujuan.

Saya teringat Arip tinggal di daerah yang setahu saya memiliki ciri-ciri seperti yang diceritakan Nana dalam postingan di blognya. Dekat danau, ada kebun kopi, dan pohon durian. Tidak terlalu banyak daerah seperti itu di seputaran kota Takengon, setidaknya kalau dikerucutkan dengan ceritanya bahwa dia bisa melihat pasar dari lantai dua rumahnya.

Dan saya menyesal kenapa tidak mencarinya dari dulu. Saya menemukannya hanya dengan dua kali bertanya saja. Pertanyaannya pun sederhana. "Maaf, Ine. Saya mau takziah ke tempat teman. Meninggalnya hari kamis. Baru pindah. Anak gadis."

Tapi saya bersyukur saya mencarinya hari ini. Kalau terlambat satu hari, mungkin tidak akan bertemu dengan Ummi. Saat saya datang, beliau sedang berkemas akan berangkat ke Banda Aceh. Rumah itu akan segera dikosongkan.

Jalan menuju rumah Nana, adalah lorong semen, kecil, yang tidak akan bisa dilalui mobil. Mungkin itu sebabnya Avanza putih yang dulu mengantar Nana diparkir di tanah kosong di seberang lorong. Lebarnya sekitar satu meter setengah. Lumayan panjang. Ada perasaan sedih ketika menyusuri lorong itu. Jarak rumah kami ternyata tidak terlalu jauh, dan saya baru memutuskan mencarinya setelah terlambat.

Lorong itu membuka ke halaman yang sangat luas. Ada rumah yang lumayan besar di bagian samping kanan. Beberapa pohon tinggi yang saya tidak tahu namanya tumbuh disamping rumah. Disebelah kanan tepatnya. Tiga sisi tanah itu dipagari tembok beton tinggi rumah tetangga, saya baru sadar lorong semen tadi juga berujung pada satu bingkai pintu dengan pintu kayu. Kalau pintu itu ditutup, praktis rumah itu 'terkurung'. Satu bagian yang tidak berbatas tembok, membuka ke danau,

Sambutan ummi sangat akrab. Ketika saya memperkenalkan diri, ummi langsung menanyakan yang lain. "Dengan siapa? Heki? Haya? Yudi? Yang lain juga datang?"

Jleb. Pertanyaan sederhana yang membuat saya diam. Sepertinya nama-nama kami begitu dekat dengan rumah ini.

Ada banyak yang kami bincangkan, tapi beberapa diantaranya terlalu pribadi untuk menjadi konsumsi publik. Curahan hati seorang ibu yang kehilangan putri tunggalnya.

Ummi mengajak saya naik ke lantai dua. Ke kamar Nana. Awalnya saya enggan, tapi ummi berkeras. Saya berharap tidak melihat hal-hal yang terlalu pribadi. Apalagi 'benda-benda' sangat pribadi seorang gadis.

'Teritori Sarinah' saya ingat Nana pernah menuliskan diblognya begitu. Ruangan luas, sekitar delapan kali lima belas meter. Seluruh lantai dua adalah dunia yang didiami Nana sehari-hari. Ruangan penuh dengan rak buku, isinya padat dengan beragam buku. banyak penulis dan buku yang saya tahu, dan lebih banyak lagi yang saya tidak tahu. Ada meja besar dengan gunungan buku ditengah ruangan. Juga beberapa kotak besar, yang isinya ternyata buku juga. Di atas meja ada komputer dengan monitor berukuran besar.

Diujung ruangan, tersekat dua rak  buku panjang, di depan jendela yang lebar, ada tempat tidur. Dengan selimut tebal yang acak-acakan, dan beberapa bantal besar. Ada sofa menghadap ke jendela. Saya terdiam melihat di atas meja kecil diantara tempat tidur dan sofa, ada buku yang terbuka, tertelungkup dengan sampul ke atas, ada toples berisi permen, beberapa bungkus keripik kentang. Kemeja berwarna pastel tersangkut di kepala tempat tidur.

"Belum ummi rapikan." kata ummi pelan. Lalu menarik saya sampai tepat di samping sofa. Saya harus berjuang keras untuk menyembunyikan mata yang mulai menghangat. Semua yang ada diruangan itu seolah masih menunggu Nana pulang. Saya sedikit berkhayal seolah Nana akan menaiki tangga dan ngomel menemukan saya dan ummi disitu.

Bukan hal yang menyenangkan melihat ummi duduk di sofa sambil menepuk-nepuk meja pelan. Bermaksud menyembunyikan perasaan sedih saya menengadah dan saya menyesal. Atap ruangan agak rendah, Saya bisa menyentuhnya kalau berjinjit. Terpasang di kayu plafon, tepat diatas tempat tidur saya melihat ada banyak foto, sepertinya diprint sendiri. 

"Itu Nana yang tempel, Yed." kata ummi. Dan saya gerimis melihat wajah Eqie, wajah saya, dan banyak wajah lain, beberapa diantaranya adalah wajah teman-teman di GIB, dp Yudi yang berupa WPAP yang paling mudah saya kenali, wajah-wajah dengan paras korea atau jepang, juga gambar doraemon dan nobita. Satu tulisan ada juga, Madagascar, ingatan saya langsung tertuju ke satu orang. Dan itu satu-satunya tulisan di kolase besar di plafon kamar. Ummi menyalakan lampu baca di dinding, yang ternyata memang diarahkan ke gambar itu.
Penjelasan ummi bahwa semuanya Nana yang mengaturnya, termasuk lampu baca itu. Agar ketika tidur dia bisa melihat semua gambar itu. Membuat saya harus berjuang keras agar gerimis tadi tidak jadi hujan.

Kami turun ke bawah. Ummi menyerahkan satu buku catatan. Sambil menceritakan kondisi Nana sampai ke saat terakhirnya. Ummi juga menceritakan kebiasaan ummi untuk tidur di sofa lain tak jauh dari tangga. Saya teringat memang ada sofa besar di dekat tangga di lantai dua tadi. 

Saya hanya bisa diam, mendengar cerita tentang Nana, yang bahkan untuk berjalan turun dari lantai dua harus bergerak perlahan-lahan. Memaki diri sendiri kenapa saya tidak sadar Nana bergerak dengan lambat saat datang ke rumah, mengutuki diri sendiri kenapa tidak merasa aneh dengan supir yang berkeras memasukkan mobil ke halaman rumah saya ketika Nana hendak pulang.

Saya membaca buku catatan itu dan semakin kehilangan kata-kata. Catatan pendek-pendek. Saya tidak sanggup membaca semuanya. Ummi mengatakan akan mengirimkan catatan itu untuk saya. Ummi masih ingin menyimpannya sebentar. Karena Nana memang menitipkan catatan itu. Teringat obrolan kami tentang nana yang tertantang oleh kata-kata Yudi untuk membuat buku. Juga ajakannya untuk menulis bareng.

Diam-diam saya berjanji akan merampungkan naskah kasar itu jadi buku. Tak soal apakah akan terbit atau tidak. Semua naskah yang sedang saya tulis akan dipending dulu. Sebut saja saya sentimental terbawa perasaan atau apalah, tapi saya merasa saya berhutang pada Nana.

Saat hendak pulang, ummi meminta saya menuliskan alamat. Saya meminta nomor hp ummi, berniat menjaga komunikasi dengan beliau. Tapi ummi menolak. Disertai permintaan maaf, ummi mengatakan setelah urusan buku catatan itu selesai, ummi tidak ingin berjumpa dengan saya lagi. Juga siapapun teman Nana. Beliau juga menjelaskan alasan serupa yang membuatnya akan segera mengosongkan rumah itu.

Satu sisi diri saya ingin membantah, menjelaskan itu tidak rasional. Tapi sisi lain diri saya tahu, memang tidak akan ada hal rasional soal kehilangan orang yang kita sayangi. Kita yang kehilangan teman saja merasakan emosi yang tidak logis, apalagi beliau yang kehilangan putri tunggalnya.

Saya pamit pulang. Ummi bahkan sudah menutup pintu sebelum saya berbalik. Dibandingkan dengan sambutan hangatnya tadi, jelas berbeda emosi yang sekarang beliau rasakan.

Ketika melangkah, sampai di pintu kayu di ujung lorong saya menegadah ke lantai dua. Dan seolah melihat seorang pemuda sedang duduk di birai jendela. Wempy. Sepertinya dia terlalu kuat masuk dalam ingatan saya.

Saya tidak ingin mencari. Tapi setidaknya saya tahu. Nana dikebumikan di Takengon, disamping makan Abi-nya.
  1. Ya Allah :'(
    Semoga Nana sekarang sudah sehat di sisi Allah SWT dan bisa bermain dengan Wempy. Dan Ummi diberikan segunung kesabaran.. aamiin aamiin aamiin..

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Nanti setelah draft awal selesai mohon bantuan ferhat ma eqie ya, untuk baca2 dan review.

      Delete
  3. Bang, yudi janji akan bantuin abang utk nyelesain buku itu bang.. paling tidak, mimpi kecil yg terbuat secara tidak sengaja itu bisa jadi nyata.
    Serba salah rasanya bang, karena obrolan bikin buku itu adalah obrolan terakhir yudi dengan nana.. yg lebih speechless lagi, foto dp itu loh bang.. dduuuh gerimis bacanya.. kapan ke banda lagi bang????

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lebaran ntar yud, yup mohon bantuannya ya.

      Delete
  4. :( speechles ... smoga Allah memberilan yg terbaik utk Nana, ummi dan keluarga lainnya.

    ReplyDelete
  5. Replies
    1. Bahkan walaupun saya mengalami sendiri semuanya, saya masih merasa seperti terjebak dalam cerita film.

      Delete
  6. Buku.. novel.. adalah hal yang sangat semangat Nana ceritakan dalam obrolan kami... Menemukan Colorado Kid - Stephen King di pasar loakan buku seolah menemukan harta karun kata Na.. Supernova 1. ksatria putri &bintang jatuh... karya-karya haruki murakami, orhan pamuk,.. Ah..saya sekarang saya ingin membaca buku-buku yang dibaca Na.. dan ingin merasakan bagaimana Na jatuh cinta pada buku-buku itu..

    Semangat Bang Sayed.. semoga bisa menyelesaikan tulisan itu.. jika saya bisa bantu.. tentu saya akan senang.

    ReplyDelete
  7. Niat menulis terasa sulit, malah banyak bengongnya, teringat semua obrolan dgn Nana. Buku catatan Nana sudah dititip dan saya terima, membacanya saya malah semakin merasa bersalah. Berdua dengan istri kami membahas dan mulai memilah bagian yang bisa dijadikan ide/draft naskah.

    ReplyDelete
  8. Om Sayid, tulisannya cakeeeep banget. Arin ga ngerasa membaca, tapi ngerasain langsung.

    ReplyDelete

Start typing and press Enter to search