Thursday, November 7, 2013

Lihat dengan cara berbeda

Hal yang sama namun dialami dengan cara berbeda, rasanya berbeda. Banyak yang sudah mengatakan begitu. Terlalu banyak dan dengan cara yang sangat beragam. Namun tetap saja, mengalami sendiri dan mendengarkan kata-kata orang lain adalah dua hal yang sangat berbeda.

Kecelakaan yang sangat tidak keren, tangga bergeser ketika turun dari pohon delima, Guava (Psidium Guajava). Menghadiahkan luka sayat yang cukup dalam tepat di telapak kaki kiri, melintang hampir setengah telapak dan bersyukur tidak sampai mencederai otot kaki. Dan penanganan awal yang kurang tepat memberikan bonus infeksi yang parah. Kaki yang memang tidak layak menjadi ‘model’ iklan untuk sandal manapun, mendadak cukup potensial bagi iklan layanan masyarakat Dinas Kesehatan, atau mungkin iklan tanaman terong, karena warnanya yang ungu variatif.

Praktis, karena tak bisa berjalan, bahkan berdiri pun sakitnya luar biasa, segalanya harus dilakukan sambil duduk. Dunia tiba-tiba berbeda. Hal-hal sederhana seperti mengambil air ke dapur, pakai sandal, masak mie instant, jongkok, ngambil buku di lemari, ngambil pulpen yang tertinggal di kamar, mendadak jadi pekerjaan yang butuh usaha ekstra.

Mendadak alasan kenapa suster ngesot jadi suka emosi mengganggu orang, jadi sangat masuk akal. Hanya untuk mengambil baju dari lemari plastik yang tidak sampai satu meter setengah tingginya, butuh kerja keras ekstra.

Menghabiskan hari hanya dengan duduk, tidak bisa bekerja mencari nafkah, padahal rejeki masih recehan yang mesti dikejar harian, menambah angka baru pada frustasi meter. Setiap pagi hanya bisa merasa semakin tidak berguna sebagai suami, ketika istri tercinta berangkat kerja menempuh jarak belasan kilometer pulang pergi.

Sadar sepenuhnya sebagai orang yang tetap bekerja, bukan bekerja tetap. Pendapatan itu bukan diperoleh dengan jumlah sama secara rutin. Setidaknya bisa menjadi suami yang bisa mengantarkan istri ke tempat kerja, menjemput anak dari sekolah, belanja. Atau ketika istri harus melaksanakan tugas kantor yang secara rutin mengantarkan surat panggilan sidang, ke berbagai tempat dikota maupun dipelosok, dengan medan yang berupa gunung-gunung, setidaknya bisalah menemaninya. Tapi ketika duduk dengan kaki terjulur saja sudah sakit, jelas tak bisa dilakukan.

Teringat pada naskah novel milik sendiri, yang sedang menunggu jawaban dari penerbit.

... Kalau boleh kukatakan, menurutku ada dua jenis takdir di dunia ini. Satu, takdir manusia yang masih bisa dirubah dengan usaha keras atau melakukan kebodohan terbesar dalam hidup. Ini macam takdir yang sifatnya sesuai dengan perjuangan yang kau lakukan. Model takdir yang sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Ada cerita orang kantoran, yang selama belasan tahun meratap dalam shalat, meminta hidup lebih baik, namun setiap pagi berangkat kerja dengan tanpa babibu menerima saja bahwa dirinya yang sarjana hanya kebagian jabatan sebagai pesuruh. Tugasnya tak jauh dari beli kopi, fotokopi, dan kopi paste surat kantor untuk kepala bagian. Lalu suatu hari ditontonnya televisi swasta, ada seorang laki-laki berparas oriental, dengan kepala agak botak, berkacamata, sedang berbicara. Kalimatnya sederhana, kena menancap dan menikam dalam hati si pegawai. Tergerak jiwanya, tersentuh emosinya, terbakar semangat dia. Esoknya datang ke kantor, dicampakkannya sehelai amplop coklat, berisi surat pengunduran diri. Dengan bekal tabungan dimulainya usaha gorengan, dibujuknya kawan yang piawai dalam hal rancang merancang gambar, dan hasilnya spanduk usaha nan menarik. Setahun kemudian, dia lebih kaya dari kepala bagiannya.
Takdir kedua, lain pula aturannya. Sudah ditetapkan Tuhan sejak langit pertama kali dilukiskan. Sudah digariskan sejak fajar pertama terbit melintasi langit bumi. Mutlak hukumnya, tak bisa diganggu gugat, dan tiada peluang tawar menawar apalagi surat menyurat. Biasanya orang akan mengatakan ini takdir yang merekat erat dengan kelahiran dan kematian. Aku termasuk yang menambahkan dalam kelompok takdir ini, ada hal-hal lain yang berkaitan dengan arah hidup manusia. Seperti safety button bagi hamba Tuhan. Titik tengah persimpangan, bukan persimpangannya sendiri. Titik yang mengarahkan manusia pada takdir model pertama, tempat dimana hasil keputusan akan menentukan arah hidup dimasa depan ...

La In Syakartum La Aziidannakum, Jika kamu bersyukur pada nikmat-Ku, maka akan Aku tambah nikmat itu (Q.S. Ibrahim, 7)
Janji Allah, kepada kita hamba-hamba-Nya. Sebenarnya sakit ini juga bisa dipandang sebagai ‘nikmat’. Kesempatan untuk berhenti sejenak, merenungi kehidupan yang sedang berjalan. Safety button yang disiapkan karena sedang akan memulai kehidupan ditempat yang baru. Memulai kembali mencari nafkah, bukan dari nol, bahkan dari minus.

Dan memang, karena tidak bisa bangun, akhirnya hanya bisa membaca, menulis, dan merenungi banyak hal. Ternyata banyak, sangat banyak hal yang ketika ditinjau ulang, masih sangat dibutuhkan perbaikan. Rencana usaha, yang karena modalnya sangat minim ternyata masih punya kesalahan perhitungan, sehingga keuntungan yang maksimal hanya pada kisaran belasan ribu rupiah per hari bisa kehilangan setengahnya bila dilanjutkan tanpa perubahan. Allah sayang kami.

Sejak lama bercita-cita menjadi penulis novel. Meskipun sudah mengirimkan delapan naskah ke penerbit, namun masih belum ada kabar, saya tetap melanjutkan menulis naskah lain. Belajar dari kisah Dan Brown, yang setelah Da Vinci Codenya diterbitkan, tulisan sebelumnya juga mendadak bernilai. Atau Tere Liye, yang namanya mencuat setelah novel Hafalan Shalat Delisa meraih sukses, atau J.K Rowling dengan Harry Potternya, semua berhasil karena fokus meraih impian mereka. Terus menulis, saya katakan pada diri sendiri, lama-lama jatah penolakan pasti habis, dan satu naskah yang tepat akan hadir pada saat yang tepat.

Sakit ini menjadi berkah juga. Bisa menambah lebih dari 100 halaman untuk dua naskah novel yang sedang ditulis, plus menemukan kesalahan data fatal soal ‘kondisi’ kota Prague/Praha. Karena memasukkan satu bangunan yang belum dibangun pada tahun 1972. Allah sayang kami.

Membaca pun jadi lebih meresap. Selama sakit, alhamdulillah jadi waktu belajar juga. Hanum Salsabila Rais, mengajak belajar kembali tentang kemegahan Islam, menjelajahi eropa bersama putri Amien Rais ini dalam ’99 Cahaya Di Langit Eropa’. Belajar banyak ilmu agama, kekayaan pikiran dan penerapan Islam dalam hidup dari Buya Hamka, bersama anaknya, pak Irfan Hamka di buku ‘Ayah’. Mengagumi pelajaran penting dari Frederick Forsyth, soal menampilkan karakter dan membangun deskripsi dengan lembut dalam buku ‘The Day of The Jackal’, bukunya jauh lebih menarik dari filmnya. Walaupun tak menampik, bahwa adaptasi versi filmnya cukup keren, terutama menyaksikan Richard Gere adu acting dengan Bruce Willis. Lagi-lagi kesempatan berharga yang dihadiahkan Allah karena sakit. Allah sayang kami.

Begitulah, hal yang sama ternyata bisa memiliki rasa berbeda.

Walaupun Nick Vujicik, motivator yang tidak punya tangan dan kaki itu bukan seorang muslim, namun saya suka kata-katanya. Just because I don’t undesrtand God’s plans, does not mean he is not with me. Ketika saya tidak bisa memahami rencana Tuhan, bukan berarti Tuhan tidak bersama saya.



Tuhan selalu bersama hambaNya. Tak soal kita mau perduli atau tidak. Allah memberikan yang baik bagi hambaNya. Kadang dalam bentuk yang mungkin kita tidak suka. Dan pada akhirnya, menjadikannya bernilai dan berguna untuk kita adalah pada keputusan kecil kita, menerima dan mensyukurinya, atau menolak membuka hati lalu ujung-ujungnya hanya bisa melihat buruknya saja dan hidup pun jadi terasa lebih menyebalkan.

Start typing and press Enter to search