Sunday, June 21, 2015

Ada Waktunya Untuk Tutup Telinga Tutup Mata

Ada Waktunya Untuk Tutup Telinga Tutup Mata


Ada satu kenangan. Kejadian lama yang sebenarnya akan indah, bila bisa dilupakan. Tapi begitulah, kita sering melupakan hal-hal yang ingin kita ingat, tapi malah mengingat dengan jelas hal-hal yang ingin kita lupakan.


Saat itu tahun 2000. Tahun pertama di milenium baru. Demam dan isu Y2K sudah hilang, banyak ramalan tentang kiamat ekonomi terbukti hanya hoax. Dan saya sedang menata lagi kehidupan sehari-hari yang masih berputar pada masalah yang itu-itu saja.


Tahun 2000 saya masih menjadi penyiar di satu radio swasta. Mulai sadar bahwa bahwa meskipun saya berteman dengan para penyiar lain, kami sebenarnya hanya saling kenal. Tidak pernah betul-betul dekat. Yang lain, saya sepenuhnya sadar, teman dekat. Saya? kami teman. Saling kenal. Titik, cukup sampai disitu.


Hari itu saya menikmati buka puasa yang tidak menyenangkan. Ditipu mentah-mentah oleh seorang 'teman' di radio, yang meminta saya pergi ke sebuah acara buka puasa bersama di satu hotel. Diberitahukan disaat terakhir, terbirit-birit menuju hotel itu. Tiba tepat beberapa menit sebelum tanda berbuka puasa, hanya untuk menemukan bahwa nama saya tidak termasuk dalam 'undangan' untuk acara berbuka itu.




Akhirnya saya buka puasa dipinggir jalan, Cuma dengan segelas air mineral kemasan, yangs selalu ada dalam ransel saya. Karena sepanjang jalan itu, tidak ada kedai atau toko yang bisa saya temukan.


Disatu sisi, ingin rasanya marah, tapi disisi lain saya sepenuhnya sadar. Ada salah saya disitu. Meskipun saya tahu teman yang kebetulan memiliki jabatan di radio itu, entah karena sebab apa sangat tidak bisa akur dengan saya, tapi ketika dia memberitahukan bahwa saya diundang atas nama radio, saya percaya.


Meskipun saya tahu bahwa dia pasti akan lebih memilih mengirim petugas cleaning service ke pelatihan (dan itu sudah pernah dilakukannya), dibandingkan mengirimkan saya. Tapi jauh dibalik kesal dan marahnya saya karena diperlakukan tidak adil, karena dibenci, saya masih berharap akan mendapat pengakuan dari dia.


Belasan tahun kemudian, sekarang ini saya teringat lagi kejadian itu. Dan diam-diam saya berterima kasih pada teman itu. Setelah kejadian buka puasa yang menyebalkan itu, saya berhenti berharap akan mendapat pengakuan lagi dari dia (sebagai pejabat radio). Saya berhenti berharap akan mendapat kesempatan dikirim dan mendapat dana mengikuti pelatihan di Jakarta, atau kota-kota keren lainnya. Saya mulai mengumpulkan uang dari usaha kecil yang saya punya, dan membiayai diri sendiri untuk ikut pelatihan ini dan itu.


Bahkan saya menutup mata terhadap caci maki dan sindiran yang dia ucapkan soal kualitas siaran saya. Terkadang terang-terangan di depan penyiar junior yang saya mentori, dikesempatan lain secara halus ketika kumpul para penyiar. Saya hanya fokus untuk menjalani siaran saya.


Dan alhamdulillah. Bukan hanya mendapatkan kesempatan dari salah satu lembaga pelatihan untuk menempuh pendidikan dua bulan di luar negeri. Saya juga mendadak menemukan nama saya terpilih sebagai penyiar favorit, dua tahun berturut-turut. Padahal saya tahu, dibanding penyiar cowok lainnya, saya kalah ganteng.


Ternyata ada saatnya memang. Ketika kita perlu fokus mengerjakan apa impian yang ingin kita capai. perlu untuk jadi 'tuli' sehingga kita bisa jalan dengan tenang menapaki impian kita. Dan karena tak terganggu dengan omongan orang-orang yang mencela dan berusaha menjatuhkan kita, kita malah mencapai keberhasilan.
  1. Sangat emosional tulisan ini bang :D
    Benar, ada masanya harus tutup mata dan telinga. Tinggal atur ritmenya saja kapan saat yang tepat hahah

    ReplyDelete

Start typing and press Enter to search