Friday, January 29, 2016

Masih Trauma

www.livingwellspendingless.com
Tsunami menerjang pesisir Aceh pada 26 Desember 2004. Sudah sepuluh tahun berlalu. Tapi sampai hari ini, rasa takut masih ada. Setiap mendengar suara berderak di atap, deg, jantung berpacu lebih cepat. Padahal hanya kucing yang melintas di atas seng. Atau mendengar suara menderu, menggemuruh yang mendekat. Yang ternyata hanya derum truk besar.

Tak peduli berapa lama rentang waktunya, sepertinya kengerian yang muncul di hari itu, sepuluh tahun lalu, masih membekas dalam ingatan saya.

Seperti bekas paku, di pagar kayu. Walaupun pakunya sudah dicabut, bekasnya akan bertahan selamanya. Forgive but not forget itu ungkapan lama yang pernah saya dengar di satu waktu di masa lalu yang entah kapan. Mungkin dalam hal ini istilahnya accept but not forget. Entah betul begitu bahasa inggrisnya, saya beberapa kali belajar tapi tidak pernah akur dengan grammar.

Rasa takut.

Mekanisme pertahanan hidup yang paling primitif, tapi akan terus ada dalam diri kita. Rasa takut selalu menjadi hal yang dominan dalam hidup kita, walaupun kita seringnya tidak sadar.

Kenapa kita mematut diri di depan cermin, Memikirkan penampilan, mungkin rambut, atau polesan rias wajah, atau melihat di spion motor apakah ada daun sop yang nyelip di gigi. Semua itu bukan karena ingin terlihat istimewa, sebagian besar karena tidak ingin terlihat jelek dan takut ditertawakan. Takut mendapat nilai buruk dari orang lain. Kita pedulinya lebih kepada itu. Takut akan nilai buruk terhadap diri kita.

Konyol? Tidak. Sangat manusiawi.

Tapi ada rasa takut yang kadang-kadang menjadi terlalu kuat, terutama yang menyangkut mempertahankan hidup, Dan itu menjadikan pikiran seperti gelas retak. Rasa takutnya terus merembes dan menetes keluar.

Satu waktu nanti, mungkin akan bisa dikendalikan. Tapi untuk saat ini, ya begitulah. Masih jadi gelas retak.

Post a Comment

Start typing and press Enter to search