Friday, June 17, 2016

Ingin Menulis Tapi Bukan Traveler Dengan Perjalanan Hebat

Ingin Menulis Tapi Bukan Traveler Dengan Perjalanan Hebat

Inginnya menuliskan catatan perjalanan yang memukau. Tapi kenyataannya, perjalanan terjauh yang bisa dilakukan hanyalah sebatas kota sendiri. Perjalanan rutin yang ada adalah rumah, pasar, dan warung kopi.

Jangan ditanyakan seperti apa iri hati ketika membaca blog teman-teman. Hari ini perjalanan ke Borobudur, kemarin menjelajah ke teluk pesisir nan menawan, kemarin dulunya senyum manis di depan gedung opera Sydney yang melegenda. Walaupun sudah lama, setahun dua tahun lalu, teman yang lain menceritakan perjalanannya ke Italy. Pose cantik di depan colosseum, di pusat kota Roma. Senyum cerah saat menaiki gondola di Grand Canal Venesia, setelah sebelumnya selfie di depan Piazza San Marco dan Saint Mark's Basilica.

Yang lainnya lagi, review perjalanannya menjelajah cafe-resto-warung eksotis. Di Bali, Bandung, atau Bangka Belitong. Ada yang cerita perjalanannya menjelajah pesona Lombok, Raja Ampat, Gunung Padang, Bromo, Rinjani, Ujung Kulon, atau yang dekat denganku tapi tak terjangkau, pantai lhok me di di pesisir luar kota Banda Aceh.

Membuka akun instagram, ah nelangsa kian menjadi. Bertabur tempat menawan dan menarik untuk dijelajahi di seputaran Aceh Tengah, Dataran Tinggi Gayo. Tapi lagi-lagi, tak terjangkau.

Apakah itu artinya aku menyesali keputusanku meninggalkan pekerjaan kantor dan menjadi ayah rumah tangga? seribu persen tidak. Setelah rentang enam tahun yang egois, mengejar mimpi sendiri, dan bertumpuk-tumpuk kegagalan. Memutuskan meninggalkan Banda Aceh, berhenti dari kantor, bahkan melepaskan dunia 'training' lalu menetap di Takengon untuk bisa bersama istri dan anak-anak, adalah keputusan terbaik kedua yang pernah aku buat. Yang pertama ketika aku memberanikan diri melamar dia, wanita istimewa yang kini menjadi istriku dan ibu anak-anak kami.

Tapi aku juga tak ingin munafik.

Ada saat-saat dalam lintasan hari yang berjalan, ketika aku merindukan masa-masa jadi backpacker. Meskipun bukan kelas atas seperti Triniti, yang bisa menikmati fasilitas 'high class' di hotel atau bandara. Kami dulu kelasnya ransel, dan bukan ransel mahal pula. :)

Menuliskan semua itu juga tidak menyenangkan, selain saat itu aku tak punya kamera, sehingga dokumentasinya rata-rata milik teman lain. Jangankan kamera DSLR, kamera pocket yang main engkol pun aku tak punya. Terlebih saat itu teknologi belum terlalu maju. Bukan seperti sekarang, yang hp low end pun sudah dibesut dengan kamera yang lumayan. datanya pun sudah tidak akurat dan ketinggalan jaman.

Nelangsa hati, gundah jiwa, gersang akan petualangan. Sayang berbilang sayang, waktu dan dana pun terbatas. Motor hanya satu yang baru bisa dipakai setelah istri pulang kantor jam 5 sore. Dan karena aku adalah lelaki yang baik, aku berpegang pada ujar petuah orang tua. Laki-laki yang baik adalah mereka yang bisa menjadi teman hidup, bukan hanya sekedar hidup bersama. Maka efektif, waktu luang adalah selepas anak-anak tidur. Jam 10 malam. Pun ketika akhir pekan, saat istri libur, aku pula yang bekerja mencari nafkah, demi anak istri juga sebungkus nasi dan segenggam berlian. Sungguh teman, jangan percaya bila ada yang bilang mencari sesuap nasi, mana ada itu.

Kalau Jakarta atau Bandung, itu bukan jam tak berpotensi. Tapi aku tinggal di Takengon, teman. Kota dengan pemandangan indah di tepi danau Lut Tawar, tapi selepas maghrib nyaris menjadi kota 'mati'. Dibungkus dengan udara dingin pegunungan, lengkaplah sudah membuat keluar malam itu tak segampang dipesisir yang hangat.

Seolah-olah sudah khatam peluang menulis nan mempesona.

Tapi untuk yang mau berlibur, dan bisa jalan-jalan. Percayalah, berkunjung ke Takengon akan menjadi salah satu wisata ekonomis yang memberikan kenangan akan pemandangan alam yang indah mempesona.

Nah saat begitu, bolehlah kamu katakan itu pencerahan, inspirasi, atau ilham dari Tuhan. Tak ada sebab musabab jelas, tapi mendadak aku berpikir. Dulu rasanya ada begitu banyak inspirasi, rasanya begitu kreatif. Dan sempat menyangka diri sebagai orang kreatif. Ternyata itu hanya 'ketularan kreatif'. Ah, pahit. Karena berada dilingkungan kreatif, pikiran ini menyala dan terbuka. Lalu ketika tercabut, gelap gulitalah dunia. Ah, dua kali pahit.

Kalau ini film, teman. Aku terpuruk diam dalam lingkungan yang perlahan semakin gelap. Lalu tepat ketika adegan layar semakin gelap nyaris gulita, dari satu sudut ada sinar kecil. Lilin yang menyala dalam hembusan angin, bergoyang cahayanya, tapi memberikan setitik terang.

Betul memang, kreatif karena dipicu orang lain. Dipicu lingkungan yang bertabur manusia-manusia inspriratif. Tapi saat itu tanpa diajari, ide bisa muncul, kreatifitas bisa terlahir. Artinya walau tak hebat melegenda apalagi inspiratif nan produktif, dulu aku bisa.

Lalu kenapa sekarang tidak.

Memang tak menjelajah Rinjani, atau menelusuri Machu Picchu di pegunungan Andel, Peru. Juga tak ada kisah eksotis menikmati santapan perpaduan budaya timur dan barat di Turki. Pun bukan pemandangan indah menawan taman lima belas ribu bunga ketika musim semi di Belanda. Atau cerita menikmati musim panas di Jepang sambil menyantap Mizu-yokan, Aotake Somen, dan Kaki Goori.

Tapi sebenarnya itu hanya soal sudut pandang. Kalau mau mencari, selalu ada hal menarik di sekitar kita. Bayangkan saja orang yang jauh-jauh datang dari Canada ke Bogor. Membayar mahal hanya untuk merasakan menanam padi atau memandikan kerbau. Hanya soal sudut pandang.

Yang ku butuhkan sebenarnya melatih diri, membiasakan 'melihat' dengan cara lihat yang berbeda. Selalu ada hal menarik di sekitar kita. Tidak selalu hal unik seperti orang Gayo yang menyeduh batang kayu untuk minuman, atau pemandangan indah danau Lut Tawar. Sekadar hal yang tampak dari pintu dapur ketika melongok keluar pun bisa. Entah itu cerita bekicot yang memanjat dinding batako dengan istiqamah, atau kodok mini yang tak jelas niatnya apa tapi bergantungan di kawat jemuran.

Pada akhirnya, sebuah cerita itu memang selalu soal cara pandang.




  1. Bukan tempat tujuan jalan2nya yg penting..tp bagaiman menikmati perjalanan itu sendiri.. dan perjalanan itu banyak juga macamnya kan.. tergantung bagaimana org mendefinisikannya #bijak *eh ini ngomong apaan ya :)'

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah, mira. Sama seperti abangmu. Kadang2 bijak.

      (Ngumpet ah, sebelum dilempar bata)

      Delete
  2. Jangan mendefinisikan traveling cuma berjalan dari satu destinasi ke destinasi lain bang, itu terlalu sempit, cobalah misalnya mengartikan traveling itu berjalan dari satu pintu ke pintu, dari satu lorong ke lorong, atau dari satu lingkungan ke lingkungan lain, tapi yang paling murah dan cepat ada traveling dari satu blog ke blog hahaha..... Ini komennya di mobil sembari menunggu keberangkatan ke kabupaten sebelah, saya mau traveling dulu yakkk #bikin palak bang fadil

    ReplyDelete
  3. tulisannya menginspirasi banget

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah kalau tulisan ini berguna :)

      Delete
  4. Pasti ada jalan bang, dibawa orang misalnya hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itulah bai, makanya GIB harus maju, biar kita-kita sering dapat undangan hehehe

      Delete
  5. Saya malah rindu tinggal di kampung bang, meski lahir dan besar di Jakarta tapi apalah daya cuma bisa ikhtiar dan dapat rezeki mencari nafkah di Ibukota. Mungkin nanti akan kembali ke sana :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe, rumput tetangga memang selalu kelihatan lebih hijau.

      Dulu saya memang merasa iri, sama teman2 yg pada kemana-mana. Tapi itu dulu. Sekarang saya malah menikmati dan jatuh cinta dgn kehidupan yg serba santai di takengon.

      Kalo kata Yudi@ www.hikayatbanda.com, Dataran Tinggi Gayo ini dunia gerak lambat. Semuanya tenang, santai.

      Delete
    2. Hehehe, rumput tetangga memang selalu kelihatan lebih hijau.

      Dulu saya memang merasa iri, sama teman2 yg pada kemana-mana. Tapi itu dulu. Sekarang saya malah menikmati dan jatuh cinta dgn kehidupan yg serba santai di takengon.

      Kalo kata Yudi@ www.hikayatbanda.com, Dataran Tinggi Gayo ini dunia gerak lambat. Semuanya tenang, santai.

      Delete
  6. Tulislah perjalanan2 waktu dulu-dulu, mereview ingatan. Seperti yang isni komentar di fb, bagaimana kita menikmatinya. Bisa juga menulis seolah-olah sudah berperjalan, sebuah tantangan tersendiri kayaknya. Seperti yang dilakukan bang ferhat itu lho. Hihi 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Periode 1998-2003, sudah banyak yg lupa. Data pun hilang tersapu tsunami. Pelajaran penting, tentang pentingnya menuliskan catatan.

      Jangan mengulang kesalahan yg sama ya, de'chan.

      Delete
  7. Kalo kata salah satu traveler favoritku,mba CK, "syukuri perjalanan kecilmu karena dari situlah perjalana2 besarmu berawal. Jangan patah semangat karena sekarang hanya bisa jalan2 ke kota2 terdekat. Sementara teman2 mu berpegergian keluar negri setiap saat. Yakin dan percaya kalau kamu suatu saat akan mampu keliling dunia."

    Kata2 ini sebagai penyematku sih because traveling is possible and it works :) *jadi curcol :D

    ReplyDelete
  8. Nice. Izin mencatat dan menyimpannya, cut.

    ReplyDelete
  9. semua itu berasal dari sudut pandang dan kelangkaan visual hingga jadi begitu bermakna Saat di pandang.

    ReplyDelete

Start typing and press Enter to search