Monday, January 20, 2014

It's better being crazy, rather than being poor and unhappy.

BiG IDEA - Source: Gettyimages.com
Gila.

Ketika pertama kali naskah buku yang sedang saya tulis, saya tunjukkan kepada dua orang pembaca awal, saya mendapatkan koment di atas dari orang pertama.

Bagaimana mungkin seorang yang (menurut teman saya itu) belum sesukses Steve Jobs atau minimal Suparno, teman kami juga, yang punya bisnis ayam penyet kaliber nasional, dan mulai membuka gerai di Philipina dan Malaysia, berani-beraninya menulis buku tentang hidup.

Bukan hanya soal hidup, bahkan soal bahagia menjalani hidup. Terlalu. Berlebihan. Nekat. Gak Pantes. Karena tema begini semestinya hanya layak ditulis oleh filsuf cerdik pandai cendekia nan bijak, atau orang kaya yang hidupnya memang penuh dengan kesuksesan dan kebahagiaan.

Yup, for me. It's better being crazy, rather than being poor and unhappy. Lebih baik dibilang gila, ketimbang udah miskin ditambah lagi tidak bahagia.

Kecewa? agak sih. Tapi saya tidak marah dengan teman yang satu ini. Dia memang laki-laki mainstream, yang tidak akan menentang arus dalam menjalani hidup. Dia seorang laki-laki yang memaknai bahagia dengan caranya sendiri, dan punya garis hidup yang sudah diyakininya dengan jelas sejak kami masih kuliah. Lahir, sekolah, kuliah, tamat dengan nilai tinggi, jadi pegawai negeri, menikah, punya anak, mati.

Teman kedua, adalah orang yang pernah menuliskan sms ke saya, ketika seluruh usaha yang saya punya bertumbangan karena ditipu teman bisnis, dan ditipu lagi oleh marketing sebuah bank swasta.

“Mess up with your life, and it will refeal who is your friend, and who’s not.”

Ketika hidup jadi berantakan, itu akan membuka identitas sejati, mana yang beneran teman, mana yang bukan.

Teman ini yang dengan sangat giat selalu ngajak saya ngopi, melanjutkan kebiasaan kami dulu sebelum saya bangkrut, bahkan ketika tahu saya mencari cara menghindari ajakannya karena merasa terlalu sering ditraktir, sementara untuk balas traktir belum mampu, ia dengan kreatif datang dengan kopi dalam bungkus plastik yang cukup buat diminum berlima. Sikap yang membuat saya semakin semangat kerja apa saja asal halal, bukan hanya untuk menghidupi keluarga, tapi juga demi menghentikan traktirannya, dan membuktikan saya bisa juga mentraktir kembali.

Tanpa disadarinya, dia mengajarkan tentang pilihan hidup, menjadi bahagia atau tidak bahagia.

Saat membaca naskah itu, dia tersenyum lama, sebelum akhirnya tertawa gembira. Dan komentar selanjutnya lagi-lagi sebuah street wisdom yang indah.

“Bagus, dan menarik. Kenapa? Karena kalau buku ini dituliskan oleh orang yang sudah sukses, pasti isinya hanya tentang gimana hebatnya mereka menjalani ujian hidup, bagian susahnya ditulis seperlunya saja, yang penting bisa mendongkrak nilai suksesnya. Sedangkan kalau yang nulis buku ini orang susah melarat menderita sejak lahir, jujur saja, mereka memang orang-orang yang sangat kuat. Daya juang mereka tidak akan mampu kita ikuti, karena kita ini orang kelas rata-rata, yang seumur hidupnya, tidak pernah menjalani ujian terlalu berat.

Buku ini bukunya manusia kelas rata-rata, yang hidupnya jadi terasa sulit karena tiba-tiba saja jatuh ke dasar. Ini seperti anak kota, yang tiba-tiba kesasar di hutan saat pulang kampung. Dengan kemampuan bertahan seadanya mencoba mencari selamat. Hal yang dianggap berat oleh anak kota, bisa jadi bagi anak kampung adalah hal biasa.”

Dua teman, dua penilaian. Dan jujur saja, saya memilih teman yang lebih menghargai. Bukan soal dipuji atau tidak, tak terlalu berpengaruh bagi saya. Usahanya untuk menghargai itu yang utama. Teman yang menghargai apa yang kita lakukan, bukan selalu memuji. Mereka memberi semangat untuk kita. Ada saatnya ketika mereka menjadi tukang kritik paling keras bagi kita, tapi mereka juga siap memberi dukungan ketika kita membutuhkannya.

Menuliskan buku ini sendiri, adalah bagian dari menikmati hidup. Karena kalau bicara menikmati hidup adalah dengan cara terus melakukan sesuatu. Selalu mencoba mengambil sisi baik dari hidup ini.

Dan saya dengan senang hati, mencoba mencatatkan nilai baik dalam hidup ini, dengan cara apapun. Blog, FB, Twitter, Google +, dan sekarang terus mencoba menulis buku. Soal apakan nanti diterbitkan oleh penulis major yang saya targetkan, tercapai atau tidak, itu tidak kan jadi masalah.

Ini soal menikmati hidup, menjadi hidup.

Bukan hanya sekedar masih bernyawa, dan bernafas.

Post a Comment

Start typing and press Enter to search