Tuesday, January 21, 2014

Carpe diem, quam minimum credula postero


a
" Ada momen ketika saya ingin menggugat Tuhan. Ingin bertanya, Tuhan, saya tidak korupsi, namun usaha saya jatuh karena rekan yang korupsi. Tuhan, saya tidak mencuri hak orang, tapi kenapa hak saya dicuri orang, dan dia sukses. Tuhan, saya hidup jujur, dan lihatlah, kejujuran saya digunakan orang lain untuk mencurangi. Tuhan, saya berusaha baik, dan sekarang saya punya hutang ratusan juta. Apa ini keadilan Tuhan? "
a

Saya selalu berharap akan bisa menuliskan sebuah buku yang menceritakan rangkaian perjalanan, dari belum sukses hingga kemudian berhasil meraih kesuksesan. Terus terang saja, impian itu muncul gara-gara sering membaca buku-buku bermodel begitu. Dari buku-buku karangan Zig Ziglar, Napoleon Hill, Anthony Robin, Andy Andrews, Oprah Winfrey, Billy PS Liem, dan banyak lagi. Lalu ketika di Indonesia mulai juga muncul trend buku-buku ‘How to’ dan buku motivasi, seperti tulisannya Andrie Wongso, Abdullah Gymnastiar, Mario Teguh, Tung Desem Waringin, Krisnamurti, Hermawan Kertajasa, James Gwee, Merry Riana, Ippho Santosa, saya juga membacanya. Dan semua menanamkan impian yang sama, tulis buku yang keren setelah sukses dan jadi sumber inspirasi.

Nyatanya sejak saat itu saya malah sering betul ‘gagal’. Kalau mengambil istilah teman baik saya, Lo tu ya ahli banget dibidang ‘fail’ . Hampir sebelas tahun sejak mulai punya mimpi itu, tapi ceritanya beda. Setelah sempat mencicipi sekitar tiga tahun yang layak dilabeli sukses, punya cafe, restoran ikan bakar, lembaga pelatihan dan usaha produk pertanian, mulai berani nyicil rumah, dan berniat beli mobil, semuanya jatuh dalam hitungan bulan. 

Sebelas tahun perjalanan, menjalani dengan penuh keteguhan semua yang diajarkan oleh para inspirator dan motivator, yakin betul bahwa belajar dari para ahli itu akan menjamin kehidupan seperti mereka, dan hasilnya, saya malah terjatuh dalam rentetan kegagalan. Salah mereka? Jelas tidak. Saya hanya merasa ternyata selama ini saya terlalu mengandalkan mereka untuk menjadi kompas hidup saya.

Ada momen ketika saya ingin menggugat Tuhan. Ingin bertanya, Tuhan, saya tidak korupsi, namun usaha saya jatuh karena rekan yang korupsi. Tuhan, saya tidak mencuri hak orang, tapi kenapa hak saya dicuri orang, dan dia sukses. Tuhan, saya hidup jujur, dan lihatlah, kejujuran saya digunakan orang lain untuk mencurangi. Tuhan, saya berusaha baik, dan sekarang saya punya hutang ratusan juta. Apa ini keadilan Tuhan?

Dan tidak ada jawaban. Roda kehidupan masih macet, patah sumbu dengan bagian yang bertuliskan nama saya tepat nyangkut di bawah. Dan lima tahun kemudian jawaban itu muncul, bukan dari para motivator kelas dunia, tapi dari seorang laki-laki berparas gersang.

Cek Baka namanya, nama panggilan dari nama lengkapnya, Abu Bakar Usman. Tak main-main memang, dua nama sahabat Rasulullah di rekatkan pada laki-laki dengan wajah sangar, namun sangat lembut dalam bercakap.

Hari itu, setelah sekian lama dompet ditalak tiga oleh kartu ATM, dan lama tak pernah melihat uang pecahan di atas dua puluh ribu. Kabar tentang sebuah kedai kecil di sudut kota yang menyajikan kopi enak dengan harga sangat ramah membuat saya datang, dan bertemu untuk pertama kalinya dengan Cek Baka.


Sangat mengenal seluruh pelanggan yang datang ke kedai kayu itu, Ia tahu saya pendatang baru. Secangkir kopi hitam panas dengan takaran gula yang pas, tak menghilangkan pahitnya kopi, namun juga tak membuat kemanisan. Obrolan santai tak tentu arah menghantarkan satu kalimat bijak.

“ Kadang Tuhan sudah menyiapkan kebaikan yang kita minta, tapi bukan seperti yang kita harap. Diletakkan tepat di depan kita, tanpa ribut-ribut, menunggu kita sadar bahwa yang kita minta ada di depan mata.”

Kopi itu jadi madu.

Setelah sekian lama, bukan dari Mario Teguh, Oprah Winfrey, Napoleon Hill, atau Krisnamurti. Seorang laki-laki biasa, yang membuka kembali hati, mengingatkan dan tanpa disadarinya, melapangkan hati.

Kata-kata sederhana itu membuka banyak hal dalam otak yang sempat buntu. Benar sekali, tak bisa dibantah. Tuhan tidak menciptakan hambaNya untuk menderita. Menderita itu pilihan yang kita ambil sendiri. Sama seperti bahagia itu adalah pilihan kita sendiri juga.

Hidup selalu berada antara dua pilihan. Susah atau senang. Menderita atau bahagia. Menyesali atau menikmati. Tidak ada hidup yang selalu baik sempurna tanpa kekurangan. 

Kebaikan yang saya minta, kesuksesan yang saya harapkan, keinginan untuk bisa berbagi inspirasi, sebenarnya sudah saya miliki. Semua kegagalan itu adalah pelajaran berharga, pengalaman mahal yang tidak semua orang punya.

Oke, saya banyak betul gagal. Ahli kecil-kecilan dalam soal gagal, sedikit paham karena keseringan merasakan itu. Walaupun tidak sehebat pengalaman para orang sukses kelas dunia. 

Oke saya belum mapan secara financial, masih punya hutang, but i’m survive. Saya bisa bertahan. Saya punya pengalaman bertahan, dan itu sesuatu yang berharga.

Tuhan telah menjawab permintaan saya, sejak bertahun lalu. Dan saya menghabiskan sekian tahun untuk menolak melihatnya, yang diletakkan dengan bersahaja di depan mata.

Cek Baka, dengan pola fikir yang tidak mau membuat hidup rumit, mengingatkan pada sebuah frasa terkenal, carpe diem. 

Carpe diem, adalah sebuah frasa dalam bahasa Latin yang artinya adalah: "Petiklah hari." Kata bijak yang diucapkan oleh Quintus Horatius Flaccus (8 Desember 65 SM - 27 November 8 SM), atau lebih dikenal sebagai Horatius, seorang penyair terkenal di Kekaisaran Romawi. Kalimat lengkapnya adalah: "carpe diem, quam minimum credula postero" yang berarti: "petiklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok."

Maksud kata-kata ini adalah orang dianjurkan untuk hidup memanfaatkan hari ini secara lebih optimal tidak menunda sesuatu untuk hari esok, dengan begitu kita lebih dapat memanfaatkan waktu yang diberikan secara optimal.

Yang saya miliki memang bukan kesuksesan materi. Saya masih jauh dari keberadaan seperti seorang teman, yang menjadi inspirator bisnis karena keberhasilannya mendirikan sebuah usaha ayam goreng lokal yang kini jadi nasional dan mulai merambah ke Malaysia dan Philipina.

Teman itu sering mengatakan berfikirlah kita besar, jangan menilai diri kita kecil, nanti hanya akan menjadi orang kecil seumur hidup. Saya setuju.

Namun saya keberatan bila kita menganggap ‘kecil’ itu tidak berharga. Banyak hal yang kecil namun bernilai besar. Karena sebenarnya hidup ini bukan selalu soal jadi besar. Tapi soal jadi optimal. Yang kecil namun diberdayakan, akan menghasilkan kekuatan dahsyat.

Hal kecil yang kita punya, bila diasah, diolah, dilatih, dikembangkan. Akan menjadi hal kecil yang tajam, terlatih, potensial dan berkembang. Satu hal kecil yang dibingkai dengan banyak hal kecil, akan jadi sesuatu yang besar, dan kuat.

Ah, kita sering lupa hal ini. Padahal sejak kita masih di sekolah dasar, sudah nyaris bosan kita dengar kata guru kita, tentang batu yang dilubangi tetesan air hujan. Bertahun-tahun tetes air jatuh ditempat yang sama diatas batu, hingga akhirnya batu itu berlubang. Tetes air yang kecil, namun terus berjuang, dan akhirnya meraih satu keberhasilan.

Start typing and press Enter to search