Tuesday, May 31, 2016

Ketika Bunda Illiza Nonton Bioskop



Bunda Illiza nonton bioskop. Inti dari sepenggal tulisan disebuah media. Link muncul di kotak pesan pada salah satu jejaring sosial media yang kumiliki. Kurenungkan, kutimbang dalam-dalam, ku coba menulusuri hati nurani, dan kuputuskan sedikit mengomentarinya di laman facebook.

Dan tak jauh dari yang ku sangka. Komentar mendukung dan mencela berarak pelan.

Ada yang mempertanyakan apa maksudnya. Apa maksudnya ku tuliskan mengenai Illiza nonton bioskop. Yang lainnya mempertanyakan apa maksudnya perempuan yang tetap jelita di usia 43 tahun itu nonton bioskop. Yang lainnya mempertanyakan apakah ini maksudnya akan kembali hadir bioskop di kota yang dipimpinnya, Banda Aceh.



Sumber gambar di sini

Tak ada yang salah dengan seorang Illiza menonton bioskop. Pertama, nah catat ini baik-baik kawan, itu urusan pribadinya. Kedua, ini boleh kamu catat juga tapi tak dicatat pun bukan dosa, itu film yang dananya akan disumbangkan untuk kemaslahatan umat. Ah, mulia nian. Niat indah dalm sebuah film yang juga diniatkan sebagai syiar kebaikan bagi bangsa, juga kampanye tentang penghafal al-Quran.

Tapi kawan, sebab musabab ku putuskan membagi kabar mengenai ini, sebenarnya sederhana. Karena bunda Illiza adalah perempuan yang menjadi walikota kota Banda Aceh. Walikota, ingat itu. Bukan warga biasa, bukan pegawai dinas kebersihan bagian pungut sampah yang gajinya lebih kecil dari anggota dewan, padahal kehadirannya lebih dibutuhkan dibanding sebagian anggota dewan, yang sepanjang masa baktinya lebih berbakti kepada keluarganya dibanding rakyat yang diwakilinya. Bukan juga ibu rumah tangga biasa, yang tak disoal orang ramai satu kota tentang sikapnya.

Ku tuliskan sedikit komentar pun bukan karena membenci. Apalagi kalau bencinya seperti satu dua temanku. Yang benci karena cinta tak berbalas atau kagum tak terjawab. Meskipun juga bukan sepenuhnya salah segelintir kawan itu. Mereka hanya lelaki yang lemah hati, tak kuat menghadapi wajah cantik, meskipun itu perempuan paruh baya yang sudah punya suami, wajah dengan polesan indah dan busana elegan. Segelentir dari mereka yang segelintir itu pun tertangkap tangan sebagai lelaki jomblo yang terpesona memandangi wajah-wajah manis yang bertebaran dengan balutan dandanan seolah-olah hijab di Instagram. Apa boleh buat, kaum paling menderita. Lelaki tak punya nyali dalam kehidupan nyata, gagal dalam pergaulan karena masih menyandang keyakinan bahwa perempuan hanya mencari lelaki tampan, dan kelu lidah meskipun jari lancar mengetik komen di dunia maya.

Sejujurnya aku jenis orang yang tak akan peduli soal sikap atau dengan perilaku  mereka yang memang tak bisa diharapkan. Tapi lain cerita mengenai bunda Illiza nonton bioskop, karena aku tahu akan ada yang mengomentari soal ini.

Ketika di kota yang dipimpinnya, bioskop adalah barang yang diharamkan ada. Maka akan menjadi satu 'luka moral' saat bunda menonton bioskop di Jakarta. Tak soal apakah kebijakan bioskop itu adalah keputusan saat kepemimpinannya atau warisan masa lalu.

Tak banyak warga yang akan mau mempedulikan apakah hadirnya bunda di bioskop itu karena tuntutan seremonial dengan pihak yang membuat film itu. Tak banyak warga yang akan repot bertanya apakah filmnya bermanfaat atau tidak.

Seandainya saja, bunda Illiza sambil tersenyum, hadir sampai ke lobi bioskop. Lalu dengan lembut berkata. "Memang tak salah bila saya menonton bioskop di sini, tapi saya merasa malu dengan warga saya. Karena saat ini di Aceh belum ada bioskop lagi. Doakan saya, semoga bisa memberikan hal baik bagi warga saya. Dan untuk kawan sekalian selamat menonton, saya sumbangkan dana senilai 100 tiket, untuk digunakan bagi kepentingan umat."
Ah, cukup elegan, manis pula secara politik, dan tentunya dibingkai senyum manisnya, panitia pun pasti maklum. Meskipun itu juga keputusan yang mungkin kurang diharapkan panitia.

Tak jauh beda dengan seorang pejabat negara yang mengajak untuk hidup sederhana, tapi tak lama dilihat orang istrinya memakai tas bermerek Gucci atau Louis Vuitton, padahal itu hadiah abang iparnya yang punya toko barang mewah.

Ada hal-hal yang akan melekat sebagai standar moralitas bagi seorang pejabat atau pemimpin. Dan memang jadi pemimpin itu tak pernah mudah. Satu hal sederhana, yang tak salah sebenarnya, bisa jadi umpan balik yang merusak kebijakan yang akan terjadi dimasa depan nanti.
  1. Fenomena Aceh bang. Grop salah hana grop pih salah. Salah grop ka u babah rimoeng.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ga juga Bai, hanya mengambil sikap yg salah :)
      Btw, thanks dah mampir. Jarang2 dapat kunjungan Ubai hehehe

      Delete
  2. Luaaarrr biasa!! Penutup yg manis

    ReplyDelete

Start typing and press Enter to search