Thursday, May 19, 2016

Muniru, Sesaat Dalam Pelukan Kehangatan.



Aroma yang membumbung mengangkasa, gemeretak kayu yang berderak dalam pelukan api, dan kehangatan yang mengapung mengisi udara malam di pegunungan Dataran Tinggi Gayo.

Mendekat ke api unggun yang menyala, seolah keluar dari danau yang dingin lalu membenamkan setengah badan dalam kolam porselen berisi air hangat. Ada kenyamanan yang melegakan. Bukan sebatas kenyamanan fisik, tapi melegakan sampai ke dalam jiwa.

Sulit menjelaskannya. Tapi begitulah adanya. Kenyataan yang melingkupi api unggun.
Api unggun malam ini, membawa kenangan api unggun lain. Yang menyala di satu malam, ribuan malam sebelum malam ini.

Malam itu sunyi. Yang lain lelap dalam tendanya. Dan aku, duduk berdiang di depan api unggun. Sendiri.

Debur pelan ombak samudera menyapa. Membisikkan cinta dan kesetiaan totalnya pada pantai. Tak peduli badai menerjang di Abidjan Côte d’Ivoire, atau hujan deras yang membuyarkan perjalanan indah ke Lago di Carezza. Acuh apakah Timor Leste masih kerontang, atau Mawsynram di Perbukitan Khasi, India barat laut, masih digelari desa paling basah tersebab curah hujan paling banyak di muka Bumi.
Laut tak peduli. Dia terus dengan setia membelai pantai, sampai kelak nanti zaman berakhir.

Dari tenda tak ada suara. Hanya ombak dengan ritme yang berulang teratur. Desir angin menggesek dedaunan. Dan langit malam yang bertabur bintang, terbebas dari polusi cahaya di kota. Kesunyian, yang dengan caranya sendiri menenangkan. Dan aku menikmatinya. Tahun 1997 saat itu, di atas karang tertutup rumput, di Lhok Mata Ie.

Sembilan belas tahun setelahnya, disinilah aku. Membuat catatan, di depan api unggun dengan rasa yang sama. Dibingkai aroma kayu yang mengisi udara saat terbakar api. Aroma khas yang hanya bisa diciptakan dari potongan kayu yang bagus. Bukan papan lapuk berjamur, yang dibakar sebagai sampah.

Muniru. Begitu nama yang diucapkan para penghuni Dataran Tinggi Gayo. Sebutan mesra untuk berdiang di depan api unggun, yang menghangatkan badan, membebaskan serangan dingin udara pegunungan pada tulang dan sendi tubuh, memeluk dan menyelimuti dengan kenyamanan, sejenak mengusap lelah dan beban di bahu.

Walaupun tahu, masalah tak pupus. Tapi untuk sejenak, melepaskan beban, itu menyenangkan. Berhenti sesaat, mempersiapkan diri, untuk besok melangkah lagi.

Apakah benar begitu? Aku tak tahu. Mungkin bagi yang lain, hanya menghangatkan diri, mengusir dingin yang menjajah. Tapi benakku mencerna rasa berbeda, ketika berdiam sejenak, di depan api unggun, adalah saat berhenti sejenak. Tidak memikirkan apa-apa, hanya menikmati.

Post a Comment

Start typing and press Enter to search