Monday, March 2, 2015

Dunia Termodifikasi

Source : freewallpaperwide.com 
Saya teringat. Dalam dunia ‘training motivasi’ berlaku aturan ‘dunia yang dikondisikan’. Dunia kecil yang anda masuki, sejak anda mulai melangkahkan kaki ke meja pendaftaran sebelum memasuki ruangan tempat training motivasi dilaksanakan.

Dimulai dengan panitia yang dilatih untuk selalu cerah ceria harum mewangi sepanjang masa. Yang menyambut anda dengan sapaan ramah[1], poster dan banner di dinding dengan kata-kata motivasi yang menguatkan[2]. Hingga mc yang menyambut hadirin dan mengarahkan suasana dengan semangat dan (lagi-lagi) ucapan kalimat terpilih. Jangan lupakan, musik yang menggelegar dan memberi semangat.
Bahkan sebagian[3] pelaku bisnis training motivasi mengkondisikan trainingnya sebegitu detil, seperti musisi yang memainkan alat musiknya. Mengatur komposisi warna, cahaya, gambar suara, bahkan mengatur hingga berapa lama waktu yang ideal untuk diam. Intonasi suara juga diatur.

Ada yang memang sengaja mematikan lampu pada sesi tertentu. Untuk mengisolasi perasaan peserta, untuk menciptakan ruang pribadi, sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh tatapan orang lain, karena untuk membangun motivasi diri, memang harus dimulai dari berdamai dengan diri sendiri, dan itu susah kalau tak bisa jujur. Dan percayalah, susah jujur bila dipelototin oleh peserta yang lain.

Tapi ada juga yang sengaja mematikan lampu, untuk merekayasa suasana. Musik sengaja dipilih yang sedih, dan trainernya mulai berbicara dengan nada sedih, bahkan terisak-isak[4]. Tidak hanya itu, kadang ada panitia yang sengaja bergabung diantara peserta, lalu mulai ‘menangis’ sehingga menstimulasi yang lainnya untuk terbawa suasana.

Apa semua training begitu? Setahu saya tidak semua, sebagian saja. Menyebalkan untuk diakui. Tapi mau bagaimana lagi. Kenyataan bahwa selain mereka yang memang panggilan jiwanya ingin berbagi dan membangun dunia lebih baik, ada juga yang yang mencari nafkah disitu. Teman saya berpendapat hal serupa juga ada dikalangan anggota dewan. Sebagian memang ingin berbuat bagi bangsa. Tapi ada juga yang menjadi anggota dewan itu hanya sebagai bagian dari ‘cari nafkah[5]’.

Tapi bukan itu yang ingan saya tuliskan. Sebenarnya saya ingin menulis mengenai satu hal yang rumit, tapi telah menjadi kebiasaan sekarang ini.

Dunia yang dikondisikan.

Saat ini kenyataan yang sebenarnya kita sadari, kita hidup di dunia itu. Lihat saja televisi, atau koran, atau bahkan social media. Semua dalam keadaan dikondisikan.

Dulu dimasa Indonesia berpresidenkan Pak Harto. Ada saat ketika media dikendalikan. Departemen Penerangan, dengan cermat mengatur dan menetralkan media yang berpotensi menyerang pemerintah. Aturannya sepertinya cukup sederhana. Yang mengganggu pemerintah, akan diistirahatkan. Dicabut izinnya, atau medianya ditegur, atau wartawannya di tangkap.

Kesannya mengerikan. Tapi kenyataannya, itu semua tak seberapa dibanding sekarang.

Cara kita melihat satu hal, dipengaruhi oleh kabar informasi yang masuk kedalam ingatan kita. Dan disitulah dunia yang dikondisikan sekarang ini menjadi hal berpengaruh. Dengan kekuatannya beberapa media dengan kepentingan memihak pada pihak tertentu mulai menyajikan berita yang diatur. Beritanya benar, ada terjadi. Tapi dengan pilihan kata atau titik fokus atau kata kunci yang diulang berkali-kali dalam tayangannya, maka hasilnya bisa berbeda.

Memperbanyak tanyangan gosip, yang sebenarnya tak penting. Cukup lumayan efektif mengalihkan minat publik dari kasus korupsi pengadaan milik pemerintah. Menayangkan sinetron kontroversial, menggeser perhatian dari debat politik soal hukum dan sebagainya. Atau malah mengangkat satu prestasi kecil, diulang-ulang hingga akhirnya menjadi besar, bisa menutupi kegagalan yang lebih besar tapi tidak diberitakan.

Pengkondisian juga dilakukan dengan banyak cara via social media. Lempar isu yang pasti disukai dan disambar pihak lawan. Terutama kalangan bawah --bukan petinggi partai-- yang tidak cerdas cerdik dalam manuver politik, pasti langsung merasa dapat peluang. Share itu isu kemana-mana. Tak sadar bahwa media yang memuat isu itu kredibilitasnya tak jelas. Lalu ketika isu itu sudah menyebar, meluas, membahana kemana-mana. Pleek, sanggahannya dengan manis muncul. Sederhana, tanpa panjang lebar. Dan terjebaklah para lawan.

Strategi yang harus diakui elegan. Tapi targetnya bukan hanya itu. Target utamanya tetap mengkondisikan informasi dan pola pikir. Sistem pemahaman terbalik. Ketika semua tuduhan ternyata salah, maka logikanya dia adalah yang benar.

Benar salah tidak berlaku lagi. Karena sekarang siapa yang paling banyak memposisikan diri sebagai berita, sebagai tokoh, sebagai sisi yang dibenarkan, maka biasanya dianggap benar. Bukan benar yang sejati, hanya dianggap. Tapi itu yang dibutuhkan, itu yang ditargetkan.

Katakan saja bagaimana penilaian terhadap pelaku korupsi.
Kalau itu koruptor dari partai yang dibenci atau pihak berlawanan, mulailah istilah koruptor digunakan, disiram cuka dengan cara menampilkan penderitaan rakyat miskin, ditabur lada dengan mengungkit gaya hidup yang kadang tak seberapa dibanding artis, atau secuil kemewahan yang ditiup sehingga menggembung menjadi sangat luar biasa mewah.

Tapi bila terjadi sebaliknya, maka istilah korupsi menjadi lebih halus. Berubah dari korupsi menjadi ‘pelanggaran penggunaan anggaran.’

Untuk apa dunia ini dikondisikan?

Sederhana saja. Ada tiga hal yang mungkin ingin dicapai.

Satu, mengubah pandangan tentang suatu hal, sesuai dengan kepentingan pihak tertentu. Disisi lain juga mempengaruhi pemikiran dari ‘penonton’ media.

Dua, menggeser titik fokus. Ketika sedang dibahas soal korupsi, maka mulai gencar diberitakan tentang sinetron Keren Sih Tapi Babi Ngepet. Bisa jadi sinetronnya memang bermasalah, tapi soal difokus habis total itu lebih bermasalah sebenarnya, sampai kasus korupsinya terlupakan.

Tiga, menciptakan ketidak pedulian. Masyarakat apatis, yang tak perduli, jauh lebih menyenangkan bagi mereka yang ingin mengeruk keuntungan pribadi dari negeri ini. Karena terlalu banyak berita buruk, terlalu banyak simpang siur, akhirnya tak perduli lagi. Dan memang itu (lagi-lagi) yang diharapkan.

Dan kenapa juga tulisan ini mendadak jadi seperti kolom politik di koran kelas menengah, mendadak serius, dan berat. Baiklah, kita pada sampai disini. Semoga tulisan selanjutnya lebih ringan.





[1] Kata-katanya dilatih.
[2] Kata-katanya dipilih.
[3] Sebagian, karena sebenarnya cukup banyak para ‘trainer’ yang memang mendedikasikan dirinya untuk berbagi semangat, berbagi motivasi, dan punya impian untuk menjadi bagian dari gerakan membangun dunia yang lebih baik.
[4] Yang sebenarnya hanya akting saja.
[5] Itu sebabnya, saat pemilihan, pilihlah dengan benar dan serius. Salah pilih, maka lima tahun kita mederita. Dan mereka lima tahun menabung untuk masa depannya.

Post a Comment

Start typing and press Enter to search