Thursday, September 15, 2011

Pasir Kaca


Pasir Kaca, mungkin dia dari kaca di langit, yang remuk kala menghempas hamparan bumi.
Atau mungkin bejana olahan silika yang milyaran hari silam milik para raksasa penghuni dunia.
Hanya alam yang tahu dan ia tak berminat menjawab tanya tak berfaedah ini.
Pasir Kaca kunamakan sosok kecil yang berkilau dibibir pantai, ataupun dipunggung pegunungan.
Berbinar disapa matahari tak tentu apakah pagi, siang, ataupun malam ketika rembulan meneruskan pantulan raja siang yang meletup ditengah jagad raya kita, dipinggiran semesta.
Menemukan cemerlang mungilnya yang berpendar, ditengah desir ombak, atau semilir angin, adalah sela dan jeda sejenak.
Mengalihkan ruang fikir yang jenuh, yang penuh oleh semerbak masakan tak mampu terbeli, lembut tenunan, dan beras putih tanpa batu.
Ruang fikir yang kumuh karena penuh oleh tagihan listrik membengkak, televisi yang semakin pudar warnanya, dan agama yang kian mengabur.
Sejenak, kawan, hanya sejenak. Kilau bening itu mengatakan harapan.
Masih ada jiwa-jiwa yang bersih, yang percaya bahwa halal haram tak bisa dipelintir.
Jiwa yang percaya, bahwa kasih sayang Tuhan jauh lebih besar dari pada penistaan manusia.
Jiwa yang beriman kepada Tuhan, bukan pada keputusan rapat para pemimpin.
Jiwa kita, itu kawan, jiwamu dan aku.
Rompal dan menggerigi terkikis tuntutan perut dan mulut, namun masih bisa diperbaiki.
Karena kita diajari, surga dan neraka adalah pilihan, dan kita memilih yang terbaik.

Banda Aceh, 15 September 2011

Post a Comment

Start typing and press Enter to search