Saturday, September 17, 2011

Menjala Angin Dibatas Pasir



Semestinya perih, namun matanya kering dari tetes air mata. Tak ada rasa terluka ataupun sakit yang mengoyak hati. Hanya sepi, berbungkus hampa. Kakinya tegak menopang tubuh, menatap batas langit, tak ada gurat kelu. Wajahnya membeku dalam sepi.

Di kaki langit, ada samar garis putih ombak mendekat. Tak lama deburnya menyapa bibir pantai, lalu sunyi. Ia berpaling menatap wajah yang sedari tadi menemaninya menyesap sunyi

" .. tak ada amarah. Aku pun tak inginkan marah itu. Sungguh! Tugasku usai baginya, karena sedih telah berlalu, gundah tlah pupus, tangis tlah reda. Aku hanyalah kertas usang tempat mengurat duka, bila suka datang maka tugasku usai sudah."
Wajah itu menatap bola matanya, lalu berkata, " Tapi .. tak inginkah kau tahu mengapa? "

Ia tersenyum, namun dalam kebekuan ekspresi, " .. tidak, aku tak ingin tahu. Bahkan aku tak perduli lagi. Bagiku, sudah usai semua."

Ia berlalu. Tak perduli, melangkah menuju batas pasir dan ombak. Tangannya terentang lalu menangkup menggenggam angin. Kemudian berpaling menatap wajah jelita itu ..

" Kau lihat? Aku tak pernah bisa menjala angin dengan jemariku. Begitulah rasa antara aku dan dia. Seperti angin di pesisir ini, akan selalu melesat dan lepas."

Tertawa terbahak-bahak ia melangkah.

Wajah jelita itu termenung, jarinya mengerucut didepan bibir yang berhiaskan titik hitam sedikit dibawah sudutnya. Samar jelita itu mendengar bisik lembut dari dia yang belalu, " .. aku pun seperti angin, ada namun tak kan nyata dimata mereka."

Jelita memejamkan mata. Ketika ia kembali menatap, tak ada siapapun. tak ada jejak kaki, tak ada tawa. hanya angin.

( jangan direnungi, jangan ditelaah, hanya coretan iseng, diambil dari blog lama milik saya)

Post a Comment

Start typing and press Enter to search