Thursday, October 4, 2018

Ratna, Kenapa?


Paska pernyataan seorang Ratna Sarumpaet dengan kalimat inti 'Saya berbohong', seketika lini masa media sosial ramai. Sebagian seperti mendapat kado, melonjak-lonjak kegirangan dan dengan bahagia mencela lawan pendukung kelompok lain. Secara halus maupun kasar. Tergantung kualitas diksi dan wawasan.


Yang lainnya, terkejut. Karena ditipu oleh seorang kawan. Tapi tak butuh waktu lama. Aliran permohonan maaf karena telah menjadi korban penipuan bermunculan. Sakit, sedih, terkejut, tapi didikan melekat kuat sehingga dengan tanpa basa-basi mengakui kesalahan.

Selesai? Babak itu selesai. Tak ada perubahan pada dukungan. Kelompok yang mengusung #2019GantiPresiden tetap melanjutkan hak politiknya yang dilindungi konstitusi.

Tapi sama seperti teman-teman lain. Bahkan ada dari kelompok berbeda, yang membuka obrolan sambil ngopi -- walaupun ngopi sekarang kurang dianjurkan -- dengan titik utama sebuah pertanyaan. Kenapa?

Kenapa sebuah reputasi yang sudah baik sejak berdekade silam mendadak dihancurkan oleh seorang Ratna hanya dalam beberapa hari?

Kenapa seorang yang bukan artis, bertubuh kurus dan tua, butuh oplas?  Padahal dunianya bukan dunia selebritas yang menuntut penampilan fisik.

Kenapa dengan sangat cepat membuat pernyataan ke publik? Apakah hati nurani yang mendadak pulih?

Mungkin kalau ini film, maka bisa jadi semua pertanyaan 'kenapa' itu akan berlanjut dengan bagian lain dari 5W 1H. Dan menghasilkan skenario film berlatar politik yang punya plot rumit.


Melibatkan unsur rahasia kelam, dan perubahan sikap politik. Misalnya korupsi lalu perjanjian tutup mulut dengan kesepakatan dukungan. Skandal gelap. Banyak lagi.

Kalau ini film. Bisa jadi skenarionya, ada seorang pemeran pendukung, karakter penting dalam film, yang dijebak oleh sebuah dosa masa lalu. Mungkin agar seru, ditambahkan adegan keluarganya terancam tanpa keluarganya tahu mereka terancam. Lalu si tokoh A itu dipaksa menciptakan situasi untuk menjatuhkan elektabilitas politisi yang didukungnga. Namun setelah menjalankan tugas menciptakan kericuhan, ternyata tokoh A dengan cepat membuat pernyataan yang mengatakan bahwa ia berbohong. Kredibilitasnya hancur, harga dirinya terinjak, dia kehilangan banyak hal, jadi musuh. Tapi keluarganya selamat.

Atau bisa jadi skenarionya dia memang musuh, yang selama bertahun-tahun punya dendam, lalu menyerang.

Tapi begitulah, dunia nyata bukan film. Air mata di dunia nyata beda dengan akting. Lagu dan tarian tak bisa menyelesaikan masalah. Dilempar ke dinding, orangnya yang patah, bukan dindingnya yang hancur.

Secangkir kopi sudah habis. Dollar menembus angka 15rb. Selembar uang 50rb sudah tak bisa lagi mencukupi belanja sehari, kecuali sangat hemat untuk sekadar sekali makan bila berpegang pada menu 4 sehat ekonomis, dan jangan mimpi untuk melengkapi jadi 5 sempurna.


Janji-janji politik pemilu sebelumnya masih berserak yang belum dipenuhi. Daerah terpapar bencana masih kritis butuh bantuan. Misteri dunia hukum masih seperti sebelumnya, ada kasus yang rumit namun secara ajaib selesai cepat, ada juga yang mengambang tak jelas. Sementara itu poster kampanye sudah mulai bermunculan.

Ratna, kenapa? Ah, pertanyaan ini mungkin tak akan terjawab. Lalu terlupakan, sama seperti janji-janji kosong dan kata manis para pembohong.

Start typing and press Enter to search