Wednesday, October 10, 2018

Dendang Perjalanan Pagi



Di sini kita pernah bertemu
Mencari warna seindah pelangi
Ketika kau menghulurkan tanganmu
Membawaku ke daerah yang baru
Dan hidupku kini ceria
(Untukmu Teman, Brothers)

Satu kebiasaan lama yang belum hilang, bersenandung pelan ketika mengendarai motor. Memang sejak semakin menekuni kembali agama,  muraja'ah -- mengulang hafalan Al-Qur'an -- sering juga menemani perjalanan berkeliling kemana-mana.

Tapi menyenandungkan lagu, masih juga belum hilang. Biasanya lagu yang terpilih ada hubungan dengan isi pikiran dan suasana hati.

Pagi ini, selepas mengantarkan anak-anak ke sekolah, dalam perjalanan pulang ke rumah, konser tunggal tanpa penonton menampilkan tiga tembang lawas. Nasyid dari Brothers 'Untukmu Teman', 'Sekali Ini Saja' miliknya Glen Fredly, dan 'Firasat' Marcel.

Ketiganya menyusun satu cerita. Pertemuan, perpisahan, dan waktu bersama mereka yang tersayang. Dan tiga hal itu, sejak berbulan-bulan kemarin sudah mengapung dalam pikiran.

Mengapa kita ditemukan
Dan akhirnya kita dipisahkan
Mungkinkah menguji kesetiaan
Kejujuran dan kemanisan iman. 
Tuhan berikan daku kekuatan. 

Mungkinkah kita terlupa
Tuhan ada janjinya
Bertemu berpisah kita
Ada rahmat dan kasihnya
Andai ini ujian. Terangilah kamar kesabaran. 
Pergilah derita hadirlah cahaya
(Untukmu Teman, Brothers)

Mereka yang tersayang. Kalimat ini tidak sedang merujuk pada keluarga, istri dan anak-anak kami. Bukan. Selain keluarga, dalam kehidupan kita juga punya orang-orang lain yang kita labeli 'yang tersayang'. Teman, sahabat.

Sejak berbulan-bulan kemarin, lini masa media sosial saya terselipi unggahan yang memuat kericuhan antara teman-teman. Teman yang dulu menempati satu rumah besar.

Suka tidak suka, memang ada ketidaknyamanan yang muncul dalam rumah. Perbedaan pendapat, pandangan, sikap, memang sudah lama terasa. Pertengkaran-pertengkaran kecil muncul silih berganti, tapi tidak menjadi besar karena sama paham untuk menahan diri. Tapi sama seperti pegas yang ditekan, akan sampai satu titik ketika tak bisa lagi ditahan.

Sekian bulan lalu, beberapa teman pamit. Mereka memutuskan pindah rumah. Membangun rumah baru di tanah kosong di sebelah rumah besar. Cukup besar. Dan itulah awalnya.

Dengan tak mengerti saya melihat sebagian teman lain di Rumah Besar menunjukkan kemarahan. Seakan mereka yang pindah rumah tak lagi bisa menjadi teman. Sindiran halus hingga celaan bermunculan.

Padahal kalau tak lagi nyaman serumah, bukannya salah bila memilih pindah. Memberi jarak, mengurangi pertengkaran-pertengkaran.

Padahal teman-teman yang pindah rumah, juga masih menyukai banyak hal yang sama. Membaca buku yang sama, punya impian yang sama, ingin melakukan perjalanan pun ke tempat yang sama. Hanya pindah rumah.

Apa yang memicu masalah antara teman-teman ini? Saya tak paham. Padahal di rumah besar masih banyak penghuninya, pun kamar-kamar yang kosong segera diisi oleh teman-teman yang lain.

Ah, saya mungkin tak akan pernah paham. Saya tak pernah secerdas mereka. Bila duduk menikmati kopi sore, sering mereka harus memperbaiki pendapat saya yang sering gagal paham.

Bukan begitu. Maksudnya begini, coba dicermati lebih dalam. Kita harusnya begini. Kamu tu salah, harusnya begini.

Bagi saya, teman-teman yang pindah rumah itu tak berubah. Masih tetap teman yang sama. Hanya rumah yang tak lagi sama.

Tapi tidak bagi teman-teman di rumah lama. Di Rumah Besar. Dan saya terjebak diantaranya. Mengunjungi mereka di rumah barunya, membuat teman-teman di rumah lama menuduh saya pun hendak pindah rumah. 

Tidak menyapa mereka? Mereka kan tetap teman saya.

Dari teras rumah kami, saya lihat dua rumah teman-teman. Masih juga dari jendela antar rumah terdengar suara sindir menyindir, cela mencela. Padahal di pagar halaman belakang, dari kedua rumah, saya lihat beberapa teman santai bergelak tawa, bahkan saling berbagi cemilan.

Saat hendak masuk untuk menyiapkan makan siang, saya melihat di teras rumah besar. Ada beberapa teman yang duduk termangu. Mereka duduk diundakan teras. Terlihat bingung. Seakan bimbang, hendak masuk atau keluar. 

Saya kenal mereka. Teman-teman yang jarang terlihat. Mereka penghuni kamar di loteng belakang. Kamar luas dengan hamparan tikar sebagai alas. Mereka penghuni rumah besar juga. Yang menyapu dan merapikan halaman. Mereka jarang terlihat di ruang makan. Empat tahun sekali mereka baru muncul di aula besar. Berdiri kikuk dengan baju baru, karena jarang ikut beramai-ramai dalam jamuan makan. Tapi mereka senang. Mereka sama seperti penghuni lain, sayang dan mencintai rumah tempat bernaung mereka. Mereka maklum dan paham penghuni rumah itu banyak. Mereka biasanya masak sendiri dihalaman belakang, di samping gudang perkakas.

Saya lihat beberapa mereka membawa kardus pakaian. Mungkin seperti saya, mereka juga tak nyaman dengan suara saling ejek dari jendela-jendela samping. Apa yang mereka ucapkan di teras itu saya tak tahu. Pindah ke rumah kecil di sebelah kah? Atau sekedar pindah kamar? Apapun itu, semoga mereka tidak berencana pergi ke kota lain, apalagi berencana membakar kedua rumah.

Tepat di pintu. Suara sapaan terdengar dari rumah tetangga kami. Menoleh, saya lihat Pak Cik Man. Dia dulu pernah jadi tukang kebun di Rumah Besar. Mengingatkan nanti sore ada rencana memperbaiki bangku-bangku di sekitar rumah besar. 

Kalau diperhatikan. Banyak rumah-rumah dibangun di sekitar rumah besar. Keluarga-keluarga mereka yang pernah menetap di rumah besar. Banyak  yang memilih tinggal tak jauh, membentuk pemukiman-pemukiman di sekitar rumah besar. Walaupun tak tinggal langsung di rumah besar, tapi dari kebun-kebun kami, dari kolam-kolam kami, sering hasilnya untuk teman-teman di rumah besar.

Saya mengangguk pelan. Melangkah masuk ke rumah kami. Dari radio terdengar alunan pelan senandung nasyid.

Kini dengarkanlah
Dendangan lagu tanda ikatanku
Kepadamu teman
Agar ikatan ukhuwah kan
Bersimpul padu. 

Kenangan bersamamu
Takkan ku lupa
Walau badai datang melanda
Walau bercerai jasad dan nyawa

Post a Comment

Start typing and press Enter to search