Friday, December 1, 2017

Mari Menghancurkan Indonesia


Jangan buru-buru marah, atau menyatakan tulisan ini bermuatan terorisme atau perpecahan. Karena bisa jadi, saya dan anda semua memang bagian dari Gerakan Menghancurkan Bangsa.

Coba lihat, apakah kita bagian dari kelompok yang mencaci maki, mengunggah tulisan yang menyerang secara membabi buta 'lawan politik', tidak mau menguji kebenaran kabar yang kita share atau kutip, atau jadi pemaaf ketika yang salah adalah kelompok tempat kita berpihak. 

Coba lihat juga, tulisan yang kita unggah itu memang karena perlu, atau sebenarnya dibuat untuk memuaskan ambisi pribadi kita dengan menumpang nama suku, agama, kelompok, dsb.

Kalau iya, nah berarti kita bagian dari Gerakan Menghancurkan Bangsa.
Saya sepenuhnya sadar, lini masa medsos saya juga tidak suci, tidak bebas dari postingan emosinal dan keberpihakan yang tidak objektif (kita pasti berpihak, tapi objektif atau tidak, nah itu pembedanya). 

Baru beberapa tahun ini saya mulai belajar dan berusaha jadi muslim yang lebih baik. Saya bersyukur untuk kesempatan berkenalan dengan banyak orang baik yang membuka wawasan. Sejak itu, saya berusaha sebisa mungkin postingan di sosmed maupun media lainnya, objektif. Dengan segala kurang lebihnya.

Saya sering membagi tulisan mbak Nanik Sudaryati, bukan karena anti pak Jokowi, tapi karena tulisan beliau yang cablak itu memuat konten data yang berani beliau pertanggung jawabkan.

Saya sering membagi tulisan tengku Zulkifli Usman, bukan karena benci PKS. Saya masih mendukung partai itu, tapi tulisan beliau punya dasar pertimbangan data yang kuat dan logis. Sedikit banyak seperti membaca buku Dilema PKS, ada kejujuran di dalamnya, dan sebenarnya adalah bentuk kepedulian karena masih berharap. Kalau benci, jelas tidak akan peduli lagi. Biar saja hancur.

Saya menyuarakan dukungan untuk pak Anies dan pak Sandi, bukan karena benci pak Ahok dan pak Djarot. Tapi saat itu saya membuat pilihan serta sebelumnya menilai dan mencari data. Pak Ahok bukannya tak punya prestasi, hanya saja beliau punya sikap pribadi yang kemudian menular dan memicu terbentuknya perpecahan. Sebelumnya juga sudah ada orang yang menistakan Islam, tapi tak jadi besar, kenapa? Karena segera diselesaikan dengan kekeluargaan. Karena tidak dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang menggunakan peluang untuk menghembuskan perpecahan. Bukan umat Islam, malah mereka di luar itu yang berusaha menjadikan isu itu sebagai bentuk pembenaran adanya diskriminasi pada suku Cina. Yang nyatanya, diseluruh tempat di negara ini, teman-teman yang keturunan Cina, dikenal sebagai pedagang, dan banyak yang menjadi sosok mapan ekonomi. (Nanti kita bahas di tulisan lain)

Sebisa mungkin mencoba membuat postingan yang objektif. Netral? Tidak mungkin, kita semua pasti akan memilih salah satu sisi.

Tapi ketika kita dengan mudah menekan tombol share, bagikan, tanpa mau repot mempertimbangkan kebenaran datanya, tanpa mau mencari referensi lain kita sedang membantu memecah belah bangsa ini.

Semisal ketika kita membagi tulisan mengenai pekerja asing dari Cina. Tanpa mau repot membaca beritanya. Tanpa mau menambahkan tulisan agar pembaca paham, yang tidak disukai adalah penjajahan pekerja asing, bukan membenci saudara sebangsa yang warga Indonesia keturunan Cina.

Ketika kita mencela seorang warga Indonesia yang keturunan Cina, sedikit tambahan tulisan yang menjelaskan bahwa kita marah pada oknumnya, bukan suku atau etnisnya.


Saat ini, medsos adalah kekuatan besar untuk membentuk wawasan global, terhadap satu hal. Bersikap bijak dalam membagi atau menulis di medsos adalah bagian dari aksi kecil kita untuk mencegah upaya para penyebar hoax untuk memecah bangsa. Terlebih, sebagian hoax itu hanya upaya cari makan dengan mendulang rupiah dari kunjungan di web (adsense, dsb). Sebagian lagi sepertinya memang didesain untuk kepentingan tertentu (politik, pengalihan isu, melemahkan, memicu keributan, dll). Oh ya, jangan lupakan kemungkinan bahwa ada sekian persen adalah bentuk gangguan kejiwaan.

Bersikap bijak, di medsos mungkin hanya hal kecil, tapi bayangkan bila hal kecil ini dilakukan oleh banyak orang. Seminal nanti saat pemilu, golput, tidak memilih saat pemilu. Ramai yang golput, pada akhirnya memenangkan calon presiden yang buruk bagi bangsa.

Ah, lagi-lagi bicara soal hal kecil. Maaf, itu tema yang sedang kuat dalam pikiran saya. 

Sekarang, dengan segala kekurangan kita, bukahkah ini waktunya untuk mengambil sikap. Boleh saja kita beda kelompok, beda dalam dukungan, beda pilihan, tapi bukankah kita bisa untuk sepakat menjadi bagian dari kelompok yang bersosial media dengan cerdas? Yang berdebat dengan santun dan pakai wawasan? Yang tidak menyebar hoax.

Bukankah lebih baik kita jadi bagian dari Gerakan Membangun Bangsa dari menghancurkannya? Pilihan ada pada kita. Tidak mungkin tidak memilih, harus ambil sikap.
  1. sudah 1 Desember, Bang ayo ditambah lagi postingannya. Minimal ada 15 post hingga akhir tahun nanti :-D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha ga ada keharusan, Ihan. Menulis karena ingin saja. Menulis karena ingin menulis.

      Delete

Start typing and press Enter to search