Saturday, July 29, 2017

Cerita Pahit di Balik Janji Manis Konservasi

Source. pixabay.com

Keringnya salah satu kolam pemandian legendaris di tepian kota Banda Aceh, Mata Ie, menjadi kabar mengejutkan. Puluhan tahun tak pernah kering, kolam pemandian yang wilayahnya punya cerita sejak jaman kolonial Belanda itu seketika menjadikan banyak orang mulai berpikir ulang tentang kondisi alam.

Mayoritas tersentak. Alam warisan tanah leluhur yang selama ini disangka baik-baik saja ternyata berada dalam kondisi yang semakin mengerikan. Seketika kata kunci dalam mesin pencari berubah. Untuk sesaat kabar seputar k-pop terganti dengan data hutan dan kerusakannya. Rilis film terbaru dari Hollywood terpinggirkan, berbagai analisa mengenai pemicu keringnya mata air alami menjadi menarik ditelusuri. Postingan pada laman media sosial juga berganti tagar dengan #konservasi #savetheearth #lindungialam dan sejenis dengan itu.

Yang minoritas terdiam, mereka yang sedikit ini adalah para penggiat perlindungan alam, yang sudah berkali-kali mengingatkan. Tapi selama ini dianggap mengada-ada. Mana mungkin alam yang sudah ada sejak masa indatoe* bisa habis.
Untuk sesaat. Ya, hanya untuk sesaat. Tak butuh rentang waktu hingga berminggu-minggu, hanya sehari dua setelahnya, semua itu mulai terlupakan. Menyisakan segelintir mereka yang tersentuh kesadarannya, sedikit meramaikan barisan para penggiat perlindungan alam. Yang sudah lama berjuang meskipun sering kalah jumlah.

Pahit. Tapi begitulah kenyataannya.

Source. pixabay.com

Bagi sebagian orang, konservasi adalah kata asing yang seakan tidak punya keterkaitan dengan kehidupannya. Suatu hal yang sangat jauh dari cahaya lampu yang harus dihemat karena penyesuaian tarif listrik yang berulang kali disesuaikan, jauh dari harga telur dan garam yang semakin meninggi, kalah menarik dengan para bintang tamu reality show yang terbahak-bahak ketika kandidat yang digusurnya ternyata tidak tuli nada dan punya vokal mantap. Konservasi juga tidak menawan seperti wajah maskulin dan cantik berhidung cingkok** di serial impor Hindustan. Pokoknya konservasi jauh, sangat jauh. Sama sekali bukan bagian hidupnya.

Soal rusaknya alam akan berimbas pada pasokan air tanah, dan sumur di rumahnya itu tak terpikir, seolah-olah perusahaan air minum bisa menjamin ketersediaan air, seakan-akan usaha air minum isi ulang tidak butuh sumber air. 

Itu belum lagi bila membahas perambahan dan perusakan hutan yang bukan hanya memunahkan hutan dan isinya, tapi juga menghancurkan sungai, laut lalu pada akhirnya segala yang siklusnya terkait, seluruh dunia.

Source. pixabay.com


Semua terasa jauh, bahkan tak terpikirkan. Dan pertanyaannya kemudian adalah 'mengapa?'

Karena segala hal terkait konservasi, sebagai upaya perlindungan dan pengelolaan alam secara bijak demi menjamin ketersediaan untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Tidak pernah dibahas dan diupayakan menjadi bagian budaya dan gaya hidup manusia di Indonesia, negeri subur yang semakin berkurang kesuburan alamnya ini.

Kenyataan pahit ini adalah sisi lain dari satu kepingan yang memuat janji manis konservasi.

Konservasi memang terbukti mampu menyelamatkan alam. Pada tahun 2010, Sungai Colorado, sungai super dengan panjang 1500 mil di Amerika, mengalami kerusakan dan kekurangan debit airnya hingga nyaris tak tersambung ke lautan di teluk California. Hal yang terjadi akibat pengalihan aliran dan rekayasa yang dilakukan sejak tahun 1920'an. Berbaris bendungan, kanal buatan, saluran irigasi, akhirnya membunuh kekuatan sungai 'purba' itu. Sadar bahaya, pemerintahnya berjuang memulihkan sungai Colorado, butuh waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan pada kondisi awalnya, namun saat ini kondisi sungai legendaris Amerika itu mulai membaik.

Di benua lain. Industri kepiting Australia, nyaris menghabiskan sebagian besar populasi kepiting di laut mereka. Upaya konservasi kemudian berhasil membuat mereka keluar dari bahaya. Saat ini nelayan Australia dan pemerintahnya telah membentuk sistem -- yang kemudian menjadi kebiasaan, budaya dikalangan nelayang pencari kepiting -- untuk hanya menangkap kepiting dengan ukuran tertentu.

Jepang, Korea, Taiwan, Afrika, dan banyak negara lainnya juga memiliki cerita yang sama.

Tapi di Indonesia sayangnya agak berbeda. Merasa masih memiliki sumber daya alam yang besar, konservasi masih diacuhkan. Memang kita punya berbagai kisah para pejuang alam, dari yang berjuang menghadapi pemburu liar, penebangan hutan liar, perusakan area hutan untuk kepentingan industri, hingga memulihkan hutan bakau dan ekosistem pesisir. Tapi itu adalah kisah-kisah pribadi, bukan hasil dari sebuah pendidikan dan sistem yang dikembangkan negara untuk melindungi alamnya.

Janji manis konservasi bukan janji kosong, meskipun tidak akan mungkin mengembalikan alam yang punah, konservasi alam masih menjadi salah satu tindakan utama untuk menjamin alam yang menopang kehidupan kita bisa tetap ada.
Source. pixabay.com
Misalkan saja perusakan dan perambahan yang telah merusak berhektar-hektar wilayah Leuser, sebenarnya bisa diperbaiki. Bukan kerja mudah, bahkan akan menjadi kerja jangka panjang -- sangat panjang dan keras -- untuk memulihkan alam yang rusak. Tapi bisa.
Konservasi alam harus menjadi kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan, dan pulsa quota internet saat ini. 
Dalam kurikulum pendidikan, sudah saatnya memutuskan mata rantai pengekang yang terlalu memaksakan pencapaian akademis yang rata-rata hanya mencetak generasi pekerja kelas staf, yang hanya tahu kerja dan kerja tanpa memedulikan kreatifitas. Sudah waktunya menjadikan konservasi alam sebagai bagian pendidikan karakter anak-anak sejak pendidikan dini hingga usia 7 tahun, sepaket dengan agama dan budaya.

Menjaga dan memulihkan alam memang hanya itu yang bisa dilakukan untuk memastikan bahwa bergenerasi selanjutnya masih bisa memetik mangga, jambu, durian. Masih bisa menginjakkan kaki di hutan, merasakan aliran sungai, melihat laut itu biru dan isinya ikan juga terumbu karang bukan plastik. 

Alam sebenarnya memiliki kemampuan memulihkan diri, namun kekuatan merusak dari kehidupan manusia pada era industri ini jauh melebihi kemampuan pemulihan itu.

Tak punya pilihan, manusia harus memperbaikinya, sebelum terlambat. Karena sisi lain dari kekuatan pemulihan alam yang sering terlupakan, alam bisa saja terpicu melakukan perlawanan ekstrim. Bisa saja, akan ada tajuk utama berita bertulis Nature Strike Back. Siapa tahu. Dan sebenarnya kita tidak berniat mencari tahu. Kekuatan alam itu melebihi kemampuan kita, manusia.


* Leluhur
** Bengkok, mancung. 
  1. Ah ga tau mau kasih komentar apa, bang. Speechless.

    ReplyDelete
  2. Miris memang ya bang, semua harus dimulai dari kesadaran masing-masing.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Bai, tapi butuh diingatkan juga, karena sulit menyadari kalau memang gak tahu.

      Delete
  3. Jelas terbukti firmanNya, ya bg. Yang membuat kerusakan adalah kita, manusia.

    Sayang sekali, kita terdidik tapi tidak mendidik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa jadi, pendidikannya yang salah fokus.

      Delete
  4. Memang menyedihkan, isu konservasi belum menjadi isu yang menarik untuk diperbincangkan, mungkin semua akan sadar jika semuanya sudah tidak ada lagi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Yell, seperti kejadian Mata Ie kemarin.

      Delete
  5. Tapi mental kita memang belum siap, banyak dari kita masih berkata, " untuk apa nanam pohon, nanti pak Oknum itu pula yang panen".

    Semua tercipta karena kebiasaan, buang sampah sembarangan bukanlah sebuah Aib, buang sampah ke sungai mereka kira tidak berbahaya dan aman aman saja koq. Udah dari dulu buang kesitu dan nggak masalah. Disisi lain menebang pohon adalah hal biasa dan lumrah, bukan hal yang berdosa. Menanam pohon ? Kalau tidak menghasilkan untuk apa kata mereka.

    bagi orang konservasi ini sangat menyakitkan melihat keterbatasan ilmu dan keterbatasan moral untuk membiasakan diri menjaga alam.

    Untuk itu kami akan terus berusaha menyuarakan hal ini sebelum generasi selanjutnya semakin sesat.

    Salah satunya adalah dengan mengadakan kegiatan penanaman pohon di Lancuk Leweng atau dengan nama lain Bur Gajah yang terletak di kampung Asir Asir atas, kec. Lut Tawar, Kab. Aceh Tengah. Tempat ini dipilih karena yang paling dekat dengan kota dan rentan kerusakan seperti kebakaran.

    Semoga semangat kami bisa tertular kepada teman teman lainnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu sebabnya konservasi harus jadi bagian pembentukan karakter, dari pendidikan usia dini.

      Sukses buat aksi tanam pohonnya ya, bro.

      Delete
  6. Kalau dari pengalaman aku.. berbicara konservasi itu kayak maen games level HARD yang sudah pasti nubi kalah.. Kenapa? Karena maen games level EASY macam buang sampah pada tempatnya atau nuang saos di KFC secukupnya saja gak mampu.

    ReplyDelete
  7. Paling suka quote ini "Konservasi alam harus menjadi kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan, dan pulsa quota internet saat ini. " Haha

    ReplyDelete
  8. Bang kenapa enggak ikut lomba saja kemarin? haha bagus begini bisa terancam juara

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini kan ikut, cuma terancam aja, ga juara hahaha

      Delete
  9. Semoga kita semakin sadar, bahwa kita hidup bukan untuk mementingkan diri sendiri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Tina. Kita kan hidup di atas warisan untuk anak cucu nanti.

      Delete

Start typing and press Enter to search