Thursday, July 20, 2017

Celana Cingkrang Jamaah Kami.


Sejak setahun terakhir, saya lebih nyaman dengan celana cingkrang, sebutan umum untuk celana yang lebar, ngegantung di atas mata kaki.


Model celana begini jadi pilihan karena banyak sebab. Ikut sunnah salah satu faktor utamanya. Faktor lainnya karena kenyamanan untuk bergerak. Dengan ukuran yang tidak mencekik seperti celana pinsil yang dianggap keren oleh sebagian kalangan, celana cingkrang lebih memudahkan buat saya bergerak.

Sejujurnya, celana begini model sudah semakin banyak diminati. Dari versi original yang komprang, sampai versi  lebih gaul yang muncul ketika semakin banyak seleb seperti Teuku Wisnu mulai menekuni agama lebih dalam.

Uniknya, saya sering disapa dan ditanyai dengan pertanyaan yang berbeda redaksional tapi maknanya tak jauh beda "Sekarang udah gabung ke jama'ah Salafi ya? Tabligh ya?"

Label, branding, karakter identitas berbusana yang sebenarnya milik semua muslim kenapa mendadak jadi ekslusif milik kelompok tertentu. Seolah siapapun yang bercelana cingkrang itu mesti Salafi (pada beberapa kasus ditanyai soal Jama'ah Tabligh)

Ah, soal definisi Salafi saya tidak mau perdebatkan. Ini istilah percakapan umum yang sering kita dengar. Kalau sudah berjubah panjang, gamis, cingkrang pasti Salafi atau Tabligh.

Memang, saya akui saya setahun belakangan ini semakin merasa perlu mendalami agama lagi. Salah satu perubahan yang terbetik dari proses belajar itu ya soal cingkrang. Tapi juga tidak selalu berarti celana yang memang di atas mata kaki, banyak juga berupa jeans yang di gulung/lipat. Ada masanya saat shalat bergamis, tapi lain waktu polo shirt biasa, toh tidak melanggar aturan syar'i.

Tapi begitulah, terkadang mengkelompokkan satu dua (atau banyak) hal sebagai milik ekslusif kelompok tertentu menjadi hal yang semakin jamak kita temukan, atau bahkan tanpa sadar kita lakukan.

"Di jama'ah kami... " kata seorang teman dalam percakapan yang membuat saya memaksakan senyum. Semakin miris dengan semakin terpecahnya umat Islam. Senyum getir, yang berkurang getirnya, menjadi lebih nyaman ketika disaat lain melihat foto yang menampilkan beberapa ustadz (yang saya tahu memiliki perbedaan) namun tersenyum bersama dalam satu foto. Lebih teduh lagi saat menemukan itu bukan semata foto pencitraan.

Toh kenyataan yang tak banyak dibahas, meski label dan dress code dianggap kelompok tertentu, tidak lantas mempermudah interaksi dalam kehidupan. Senyum dan menyapa selepas shalat berjama'ah, atau ketika berpapasan di pasar -- dengan mereka yang bercingkrang dan gamis -- kadang di jawab canggung atau ragu.

Tak menyalahkan, kita hidup di jaman penuh tipu daya dan kecurigaan. Kebaikan sering berbuah masalah dengan sesama manusia. Jadi teringat ucapan seorang ustadz saat mendengar curhat senada tulisan ini.

Belajarlah pada ulama yang dikenali dan diakui. Lalu beragama dan beribadahlah karena Allah. Ridha-Nya yang penting, yang paling utama, dibanding hati manusia yang sering mudah terbolak-balik.

Post a Comment

Start typing and press Enter to search