Thursday, May 4, 2017

Menulis Bukan Untuk Diakui.





Pada usia 38 tahun, tapi masih mencari identitas? Rasanya dianggap terlalu konyol. Tapi itulah yang terjadi. Dan sebenarnya bukan satu kesalahan atau hal memalukan. Menukil kepingan sejarah dan kisah-kisah dalam kehidupan kita. Entah yang kita baca, saksikan, atau dengar, pencarian jati diri sering kali adalah perjalanan seumur hidup yang dilakukan oleh banyak orang. Hanya saja, kita -- atau sebaiknya aku saja -- terlalu ambil peduli dengan pendapat orang.

Sebenarnya sejak tiga tahun belakangan ini, aku mulai menyukai gaya menulis dengan sudut pandang orang pertama dan menggunakan kata ganti ‘aku’ dibandingkan saya. Nuansa personal yang lebih kuat. Pergeseran yang sudah lama dirasakan, terlebih sejak mulai kehilangan minat pada buku-buku bacaan yang dianggap gaul. Sebutlah semacam teenlit, metropop, dkk. Padahal sebelumnya ada rentang waktu ketika aku menyukai membaca hampir semua genre bacaan. Mungkin dipengaruhi faktor usia yang sudah jauh melewati masa remaja, tapi bisa juga dipengaruhi oleh menemukan kembali karya-karya tulis lama dari lapak buku tua milik temanku.

Aku jatuh cinta pada gaya penulisan yang lebih nyastra. Terpesona dengan kelembutan dan kesantunan bahasa dalam karya-karya klasik Indonesia maupun tulisan asing yang di alih bahasakan. Dan saat jujur melihat lagi, sebenarnya kekaguman pada cara menuturkan kisah seperti itu sudah kurasakan lama sekali, sejak aku menemukan dan larut dalam tulisan George Orwel, 1984.

Sekitar setahun lalu, aku memutuskan menuruti kata hati. Pertemuan dengan “Memang Jodoh” beberapa waktu sebelumnya memperkuat keinginan itu, buku karya Marah Rusli yang ditunda terbitnya sesuai wasiat sang penulis. Membiarkan jari jemari dan ingatan saling jalin dalam permainan diksi. Mencoba mewujudkan impian bahwa satu waktu kelak aku bukan hanya menuliskan kalimat demi kalimat, namun melukiskan dunia dengan kata-kata. Jargon yang sering ku ucapkan ketika berjumpa dengan teman-teman di Forum Lingkar Pena Cabang Takengon. Melukiskan, bukan sekadar menyusun kata.

Lalu Ben muncul. Aku tak tahu siapa dia. Kemunculannya tiba-tiba. Tak tahu apa, siapa, dan dimana hidupnya. Dia tak punya identitas selain namanya, Ben. Dan proses mencari-cari siapa dia dalam percakapan daring membuatku surut dari keinginan yang sempat mulai ku jalani. Ben dengan sensasi sesaatnya berujung pada ketidaknyamanan. Sederhana saja, aku tidak suka harus berhadapan lagi dengan penyidikan dan tanya yang semakin lama semakin mengusik dari beberapa orang.

Ujian mungkin, tapi untuk alasan yang aku sendiri tak paham, lini masa hidupku sebagai (orang yang bermimpi jadi) penulis bersinggungan dengan beberapa nama. Nana yang unik dengan kemisteriusannya, yang pernah ku temui dalam satu pelatihan di ibukota negara bertahun silam. Nana dan Wempy yang muncul kebali sebelum meninggalnya itu, membuatku harus berhadapan dengan keingintahuan yang mendesak dari beberapa orang, hinga pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan menjadi terlalu menekan, bahkan ketika tak bisa kujawab melebihi yang ku tahu, secara tersirat melekatkan tuduhan sebagai pembohong. Lalu ada Keumala, yang lagi-lagi aku tak mengerti mengapa aku yang bertemu dengannya. Di parkiran keude kupi tanpa sengaja, lalu beberapa waktu setelah dia menghilang dari dunia blog, saat seorang ustadz yang ku tahu selintas,menyapa dan mengatakan bahwa perempuan bercadar istrinya itu adalah Keumala. Saat tak sengaja ku ucap di grup, lagi pertanyaan bermunculan di balik percakapan, dan diiringi dengan hal senada, keingintahuan yang nyaris menghakimi.

Ben dengan permainan katanya yang sesuka hati tapi tertata dan suka kubaca, membuatku dulu surut. Aku tak berniat dituduh lagi. Entah karena OCD yang didiagnosa ku miliki, entah memang peukateun-ku tapi segelintir orang itu memicu satu hal yang membuatku tak nyaman, dan tanpa bisa ku cegah mengganggu pikiranku. Sesuatu yang harus ku enyahkan sebelum mulai menjadi pemikiran konstan. Hasilnya, aku kehilangan rasa. Menulis menjadi tidak menyenangkan. Aku kehilangan kesenangan memikirkan bagaimana menyusun kepingan kata menjadi lukisan narasi yang aku suka.

Dan siapa sangka. Ben dengan tulisannya juga yang membuatku kembali berpikir. Menata ulang pendapat dan penilaian. Tulisannya yang kemarin ku baca seperti menampar. Dia menulis sendiri, untuk dirinya sendiri, tapi kata demi katanya menghujam telak. Harus diakui, aku dan pemikiran yang melandasi surutku itu adalah gambaran nyata bahwa menjadi diri sendiri itu tak pernah mudah.

Aku tak peduli lagi. Dan sebenarnya merasa bodoh karena pernah peduli. Kepoisme, istilah yang disematnya dalam tulisannya, memang tepat untuk direkatkan pada orang-orang dengan keingintahuan berlebih, yang dengan mudah menuduh ketika tak sesuai mau mereka. Mazhab hidup mereka seharusnya ku acuhkan saja. Tanpa mereka, hidupku juga tetap hidupku.

Siapapun dia, kurasa aku berterima kasih mengenalnya. Sikap yang layak diikuti. Berani menjadi diri sendiri. Kemunculannya adalah aturan Illahi, jawaban untuk pertanyaan yang mungkin tak pernah berani aku ucapkan. Dan aku menghabiskan waktu seharian, dengan segala kegiatan namun pikiran yang berputar pada satu tema saja. Menulis seperti yang ku suka. Terserah apa kata mereka.

Aku menulis bukan untuk diakui dunia, aku menulis karena aku mengakui dunia.

Start typing and press Enter to search