Thursday, August 25, 2016

Masjid Peminta-minta.


Sudah terlalu sering, hingga menjadi biasa. Melintas di depan masjid, ada dua bangku dengan sosok berwajah lelah, satu di ujung sini, yg lain di ujung sana. Menadah tangan meminta helai keping rupiah. Untuk masjid.

Memalukan.

Ya, dikatakan memalukan. Diam-diam dalam hati ketika berhadapan langsung, atau terang benderang dalam postingan sosial media. Hati-hati bila berhadapan, bisa jadi karena segan atau tak enak pada orang lain. Terang terbuka blak-blakan di sosmed, karena masih bisa acuh atau dihapus bila ternyata yang komentar tak berkenan. Tapi besar kemungkinan, rasa malu tak terlibat.

Ada sih malu, tapi bukan malu berbalut sedih, karena sebagai muslim, ternyata ada tempat ibadah yang kekurangan, terpinggirkan, hingga terpaksa menadah tangan mengharapkan recehan untuk perbaikan atau pembangunannya.
Malu yang dirasakan malah karena gengsi. Terhina dirinya karena sebagai orang ber-ka-te-pe islam di kolom agama, rasanya mencoreng wibawa diri tindakan begitu. Harga dirinya begitu tinggi, sampai lupa, karena kurangnya bantuan danalah yang membuat menadah tangan terpaksa dilakukan. Para pencari dana itu menekan harga dirinya demi memenuhi harga bata, semen, atau cat.

Aku merasa malu. Ya, malu. Dan bukan hanya aku. Sebenarnya sebagian kita banyak yg merasa malu, pada diri sendiri, pada masjid. Pada kenyataan bahwa ketika mereka menadah tangan, kita sebenarnya lebih sering memberikan sekadarnya. Helai-helai yang lebih kecil dibanding nilai yang kita gelontorkan saat dugem--duduk gembira-- di café coffeeshop distro bistro mall. Bahkan tak sebanding dengan uang yang kita bakar bersama rajangan tembakau beraroma cengkeh yang sering dianggap kepantasan seorang lelaki.

Tuhan memang menciptakan kita dengan build in software yang tak terhapus walau kita tindih dengan berbagai konsep. Sistem diagnosa jiwa yang berjalan otomatis bahkan saat kita jauh dari-Nya. Malu. Indikator sederhananya. Cukuplah mengerti, bila ada malu, artinya ada kesalahan dalam diri dan sikap kita.
Sayangnya, entah karena terkikis jaman, atau terinfeksi pemikiran, sering hanya berhenti di bagian 'malu' saja.

Merasakan malu seolah telah menjadi pembenaran, alasan yang cukup, untuk berhenti sampai titik itu saja. Seolah malu itu cukup.

Sampai bahagian ini, sepertinya akan ada yang berkata. Masih untung bisa merasa malu, dari pada yang acuh. Aku tak ingin mendebat siapapun. Bila itu yang diyakini silahkan saja, hak yang bebas pada siapapun. Apalagi bila kalimat tadi ditambahkan dengan "...jangankan membantu orang, hidup sendiri saja susah."

Pemakluman yang sebisa mungkin dijauhkan dari benak sendiri. Karena bagiku, sebatas merasa malu alu diam dan berlalu, lalu malu lagi dilain kesempatan tapi tetap diam, tak jauh beda dengan yang acuh.

Mungkin memang betul, tak banyak yang kita bisa beri. Malulah untuk itu. Hanya recehan dari sisa pengeluaran bulan ini. Malulah bila kita adalah bagian yang merasa mereka mengganggu. Boleh malu untuk itu.

Tapi lebih malu bila kita termasuk mereka yang memilih menghindari karena merasa diri susah lalu enggan menyumbang.

Baru beberapa hari kemarin, seorang temanku datang dengan mata berbinar. Pasalnya sederhana, dia baru pulang dari seminar soal mempercepat rejeki.

"Sedekah, itu kuncinya."ujarnya lalu tertawa lebar tanpa sebab. Mendengar ceritaku soal sumbangan bulanan yg kusiapkan, tapi belum memberikan 'percepatan'.Ditambahkannya bila tak juga dipercepat, maka lipat gandakan sedekahnya.

Aku terdiam. Melipat gandakan sedekah bulanan, dari pendapatan yg kukumpulkan sehari-hari, bersumber dari uang yang disisihkan perhari, bukan perkara mudah. Alamat harus kurangi makan sekali lagi, padahal sudah dikurangi jatah yang katanya tiga kali sehari.

Terlebih, aku teringat kata seorang ustadz. Sedekah itu bukan berlaku begitu, bukan semata uang dengan uang. Bisa jadi uang dengan udang atau uang dengan urap.
Percepatan yang kita dapat bisa saja bukan berupa tambahan uang, tapi diberi kemudahan, atau digagalkan bisnis karena ternyata bisnisnya berisi janji manis semata. Atau diungkapkan penyakit yang tersembunyi, hingga dimudahkan jodoh. Sedekah ini bukan deal matematis, hitungan Allah dan kita beda cara.

Aku menyerah soal lipat ganda itu. Hidupku memang belum berlebih kemudahan. Soal mereka yang meminta helai keping rupiah di pinggiran jalan itu. Kutetapkan saja begini. Untuk diri sendiri. Soal orang lain aku tak punya kuasa.

Kemarin, hari ini, dan besok. Lalu besoknya besok dan seterusnya. Sampai nanti harinya tiba, ketika bantuan diberikan tanpa perlu diminta, ketika orang berlomba-lomba menyalurkan dana, seperti ketika menyumbang untuk pedagang makanan yang kena 'tangkap' satpol pp karena jualan disiang bulan puasa. Sampai ketika hari itu akhirnya tiba, aku akan selalu berhenti di depan jaring atau kotak mereka ditepi jalan. Tak banyak, semampunya saja.

Aku malu melihat masjid ditopang peminta-minta. Malu karena aku belum mampu memberi sebanyak kebutuhan mereka. Dan lebih malu lagi. Bila yang sedikitpun aku tak bisa juga. Alihkan lima cangkir dari tujuh cangkir jatah ngopi seminggu di warung. Cukuplah dua kali seminggu, untuk menyambung kabar dengan teman. Aku tak merokok, jadi setidaknya tak ada uang terbakar yang harus dikurangi.

Soal nanti ada lagi yang lainnya, yang berkomentar, untuk apa membangun masjid bila jamaahnya sepi. Itu urusan mereka saja. Masjid yang bagus bisa berguna untuk yang membutuhkannya, entah pejalan yangbbiutuh bernaung sekejab, atau hati yang mendadak merindu Tuhannya. Yang jelas aku ingin dengan segala kekurangan diri, dan dosa yang masih bertumpuk ini, ketika menghadap Tuhan, aku masih punya muka untuk setidaknya berkata ada segenggam pasir yang kuberikan untuk masjid ini. Atau mungkin hanya sebutir kerikil dalam dindingnya.

Ya, memalukan memang. Padahal Tuhan memberi begitu banyak, bahkan saat aku nakal dan angkuh terhadapNya.


Start typing and press Enter to search