Saturday, August 20, 2016

Karena Jay



Seberapa banyak yang akan menangis kalau aku mati. Pertanyaan yang terus berputar tanpa jawaban sejak beberapa bulan kemarin. Tepatnya sejak penguburan Jay, seratus dua belas hari sembilan jam tiga puluh empat menit lalu.

Saat itu hanya ada pak imam, Fauzi dan Itok yang satu kos dengan Jay, sebelas orang yang tidak aku kenal, tiga pekerja gali kubur, dan Bu Lina, staf kantor tempat Jay bekerja. Lalu aku. Berdiri mengelilingi gundukan tanah yang masih lembab.

Siapa Jay? Namanya Zainudin. Dia salah satu dari sekian banyak Udin di dunia. Jay adalah udin yang kesepian, meskipun namanya bukan Sepiudin. Dan hanya itu yang aku tahu mengenai Jay. Kami bukan sahabat, atau teman. Tapi kami pelanggan warung kopi yang sama. Setiap pagi di jam yang sama, kami bertemu. Bukan duduk bersama, hanya bertemu. Aku di salah satu meja, Jay di meja lainnya. Selama tiga tahun. Hanya sekedar saling tahu, mengangguk sekilas, lalu kembali dengan kesibukan masing-masing. Hingga satu waktu aku jatuh sakit. Seminggu terkapar karena demam.

Jay menyapaku untuk pertama kalinya ketika aku muncul lagi di warung kopi.

Isu LGBT yang ketika itu marak di sosial media seketika membuatku waspada, ketika dengan iringan mata berbinar, senyum merekah, Jay mendadak duduk di hadapanku. Dari seberang meja dia bertanya dengan terbata, agak kikuk.

“Apa kabar?” Suaranya ternyata parau, kurasa itu pengaruh rokok yang tak pernah tak terlihat dihisapnya. Bertemu selama rentang waktu lama, membuatku merekam ingatan bawah sadar mengenai Jay. Dengan agak kikuk, sapaan itu berlanjut dengan pertanyaan apakah aku sehat, dan sedikit basa basi tentang parasku yang terlihat lebih kurus.

Aku menjawab sekedarnya. Obrolan penuh kekakuan yang membuatku tahu kami ternyata bergabung di grup komunitas blogger yang sama, Jay memberitahukan alamat blognya, begitu juga aku. Basa basi bertukar nama akun. Tanpa sebab Jay menyebutkan tempat kerjanya, dan alamat rumah. Aku bersikap acuh, meskipun terkejut karena ternyata kami tinggal berseberangan. Jay dengan gugup meminta nomor telepon, aku memberikan. Sebenarnya agak senang karena nyaris tak pernah ada yang memintaku bertukar nomor telepon belakangan ini. Lalu kami diam cukup lama, sibuk dengan gadget masing-masing. Lebih tepat bila dikatakan menyibukkan diri, karena sebenarnya aku pun bingung harus mengetakan apa. Kurasa Jay juga begitu. Aku berulang kali berpura-pura melihat dan sibuk dengan laman sosial media. Meskipun kenyataannya tak ada yang istimewa. Seperti biasa semua akun sosial mediaku hanya berisi notifikasi tak penting. Rata-rata hanya ada empat sampai tujuh like untuk postingan facebook-ku. Itupun untuk kutipan motivasi, entah itu dari Mario Teguh, Ustadz Yusuf Mansur, atau quote entah siapa yang ku kutip dari laman goodreads. Twitter sepi seperti kuburan, instagram paling hanya ditanda suka oleh akun jualan. Lalu Jay tersenyum, bangkit dan pergi. Hari itu dia membayari pesananku. Besoknya kami duduk tak semeja lagi, seperti biasa. Tapi mulai ada percakapan ketika berpapasan. Jay menyapaku seminggu kemudian di grup chat.

Kami lebih banyak berkomunikasi dengan chat, bahkan Jay membeli secara daring novel yang kutulis dan kuterbitkan melalui penerbitan indie. Konyol, karena di dunia nyata Jay dan aku tetap hanya bertemu ketika ngopi dan tetap di meja masing-masing. Lalu sebulan sebelum kematiannya, handphoneku berdering. Dari Jay, untuk pertama dan terakhir kalinya.

“Kamu satu-satunya teman yang aku miliki dalam lima tahun ini. Kamu yang mau berkomentar di setiap tulisan yang aku post di blog, bahkan sebelum aku mampir di laman blogmu. Bukan sekedar basa basi tanggung jawab sosial membalas komentar karena itu balas budi saat jadwal blog walking. Kamu juga satu-satunya teman chatku di luar chat grup. Selama beberapa tahun ini, kamu satu-satunya orang yang kenal dan mengucapkan selamat ulang tahun di timeline. Berkomentar di sosmedku. Terima kasih.”

Jay menutup telepon sebelum aku sempat menjawab apapun. Ia menghilang. Tak muncul di grup, tempat Jay biasa berkomentar sekali dua meskipun nyaris tak ada yang peduli. Blognya mendadak hilang dan tak bisa diakses lagi. Begitu juga akun-akun sosial medianya. Seperti aku, Jay rutin menulis setiap hari di facebook, twitter dan instagram. Dan sama seperti aku juga, nyaris tak ada komentar, hanya beberapa like. Aku merasa kami tetap menulis dan posting karena kami takut orang melupakan keberadaan kami.

Dan tiba-tiba dari pengeras suara masjid, ku dengar kabar dia berpulang. Kecelakaan lalu lintas. Jay tertabrak truk. Tewas seketika.

Tepukan pelan di bahu membuatku terkejut. Renita berdiri disampingku. Majalah yang digunakan untuk menepuk bahuku tergulung seperti pentungan di tangannya.

“Pian, pak Yus tanya, copy bahan presentasinya mana?”

Aku menunjuk kardus kecil di atas meja. Reni membelalakkan mata. “Aku yang harus angkat kardus itu?”

Tanpa menunggu jawaban Reni berbalik meninggalkan teras penginapan, lalu menghilang ke dalam ruang pertemuan. Teras lantai dua ini memang terhubung dengan ruang itu, ada pintu besar dari ruang pertemuan tempat training kepemimpinan bagi pegawai kantor kami diselenggarakan.

Hp ku berbunyi. Pesan masuk. Pak Yus.

Bawa bahan presentasi ke dalam.

Ketika melangkahi ambang pintu, aku melirik Reni yang sedang tertawa, sekejap Reni menatapku lalu mengalihkan pandangan. Di sampingnya, Bram dan Doni juga tertawa. Mereka mengelilingi Mitha yang bercerita dengan meriah. Pak Yus duduk di meja lain, tepat di depan jendela besar, selfie dengan beberapa kepala bidang. Pemandangan laut dan pantai Sabang yang indah mempesona menjadi latar belakang.

Azhar berdiri di depan podium, sibuk dengan daftar hal yang harus dikerjakannya. Seperti biasa, kami berbagi tugas. Azhar sebagai perencana dan pengawas. Sedangkan tiga sekawan yang tak tergantikan, Ali, Dedi, dan aku, menjadi panitia segala bidang. Reni dan Mitha juga bagian dari panitia, tapi seperti biasanya juga, mereka baru akan bergerak di detik-detik terakhir menjelang semua selesai.

Mau bagaimana lagi. Aturan kehidupan sosial memang berpihak pada mereka yang memiliki kemampuan memenangkan hati kelompok. Pak Yus, Bu Mega, Yopie adalah para pemangku jabatan, petinggi di kantor. Posisi mereka tak ada yang berani mengutak-atik. Bram, Mitha dan Dodi punya jaringan pejabat dan pengusaha, aset penting bagi biro perjalanan lokal seperti kami. Sedangkan senyum manis dan kemolekan Reni adalah ujung tombak, membuatnya selalu mendapat pemakluman nyaris untuk apapun.

Aku menatap Azhar yang masih sibuk dengan daftar tugasnya. Laki-laki berkulit gelap itu dengan sengaja memilih keberadaannya sebagai ‘mandor’. Dia sepenuhnya sadar tak punya koneksi, bukan pemegang jabatan tinggi, dan tidak berparas menawan. Penampilannya lebih mirip tukang pukul dibanding kepala bidang. Azhar dengan cerdas menempatkan diri antara para petinggi dan kelompok level terendah di kantor kami. Ali, Dedi, dan aku.

Ali, dan Dedi tidak pernah menyelesaikan SMA mereka. Selama gaji terbayar lancar, mereka tak perduli hal lain. Dan kenyataan bahwa mereka bertubuh kekar membuat hanya Azhar yang berani menyuruh ini dan itu.

Sedangkan aku, selain fakta bahwa aku tamatan SMK bidang komputer, adalah kumpulan semua sisi tak baik dari yang lain. Anak kelima dari sembilan bersaudara, satu-satunya yang tidak kuliah serta satu-satunya yang bukan pegawai negeri. Ketika saudaraku yang lain mewarisi wajah menarik dan tubuh tinggi dari orang tua kami, sepertinya saat itu aku lupa dipanggil malaikat. Pendek, tambun, tidak putih, bukan hitam, dan tidak pernah pintar berbicara dengan orang lain. Untungnya karena tidak pernah berani menyatakan suka, sampai usia 29 tahun sekarang aku tidak pernah patah hati. Penampilan yang tidak mengintimidasi membuat aku jadi pilihan favorit untuk diminta tolong, bahasa halus untuk disuruh tentunya.

Selama bertahun-tahun aku acuh dengan segala hal itu, lalu Jay muncul dan mati. Sejak hari itu aku mulai dirasuki ketakutan, yang lambat laun berkembang menjadi kelelahan batin dan akhirnya menggerogoti pikiranku. Aku akan mati seperti Jay. Dan terlupakan.

Aku hendak meletakkan kardus, saat ku dengar pak Yus meminta Reni untuk membeli sesuatu. Aku tahu Reni akan segera mengalihkan tugas itu kepadaku. Perempuan ini, dibalik kemolekannya, yang sebenarnya di satu sisi aku kagumi, tapi di sisi lain bagiku hanyalah seorang pemalas dan tukang perintah. Mitha masih mau mengerjakan beberapa hal, kecuali bila itu dianggapnya terlalu merepotkan. Reni nyaris tidak mau mengerjakan apapun. Bahkan untuk sekedar mengambil amplop dari lemari, dia lebih memilih memanggilku, dari pada bangun dari kursinya di front desk dan berjalan sekitar lima belas langkah. Beli nasi, Pian. Perlu ambil pesanan spanduk atau brosur, Pian. Ini, Pian. Itu, Pian. Semuanya harus panggil Pian. Dan aku tak bisa mengelak, karena meja kerjaku tepat di samping Reni.

Buum!

“Pian, ...” Reni terdiam tak menyelesaikan kalimatnya. Tangannya menggantung di udara, sejengkal dari bahuku yang tambun, majalah yang dipegangnya terjatuh ke lantai. Parasnya memucat. Mungkin rasa kesal, muak, amarah yang membuncah dalam benakku merembes ke wajah. Atau bisa jadi karena aku menghempaskan kardus hingga berdebum ke meja.

Sudut mataku menangkap ekspresi terkejut dari yang lain.

Cukup! Aku tidak minta dipuja, aku tidak berharap disukai, tapi setidaknya aku ingin diperlakukan sama. Dihargai seperti yang lain. Bukan pesuruh untuk segala hal. Dan tidak dijadikan olok-olok abadi di kantor untuk hal apapun. Kasus LGBT marak, olok-olok si Alfian. Bicara jomblo dan cinta, Alfian lagi. Pelanggan menyebalkan, larinya ke Pian. Pejabat korup, mirip Pian. Mana yang lebih menarik Chef Marinka atau Chef Giada De Laurentiis, dan ujungnya tetap kena ke Pian. Ada kerja lembur, katakan ya depan pak Yus, lalu alihkan ke Pian.

Aku berbalik meninggalkan ruangan. Turun ke lantai satu, dan untuk pertama kalinya bersyukur aku tidak kebagian kamar di hotel ini. Memotong dari halaman belakang, aku berjalan melintasi lereng bukit kecil, menyeberang jalan aspal lama dan sampai ke penginapan lain. Hanya sekitar lima menit tapi kondisinya jauh berbeda. Hotel yang disewa untuk acara adalah bangunan modern berlantai tiga, dengan bentuk kotak yang kaku, desain interior mewah, dan taman yang ditata bergaya Itali. Sedangkan penginapan yang aku dapat adalah rumah dua lantai bergaya klasik. Baru tapi dibangun dengan kesan tua. Halamannya alami, hanya dirapikan. Alih-alih nama penginapan seperti Casablanca, Diamond Hill, Four Season, pemiliknya malah memilih nama seperti nama rumah makan, Sinar Dermaga.

Aku menghenyakkan diri di bangku kayu. Hembusan angin laut yang sejuk mulai meredakan amarah. Suasana yang tenang mulai mengembalikan akal sehatku. Dan aku sadar betapa terancamnya nasip pekerjaanku saat ini. Berani betul bersikap begitu. Siapa aku? Bahkan sekedar mengucapkan selamat ulang tahun, tak satu pun manusia di kantor merasa perlu melakukannya. Apalagi untuk memberhentikan dan menggantikan aku, kurasa mereka tak perlu berpikir dua kali, bisa dilakukan lebih mudah dari membalikkan telapak tangan.

Tak sadar aku menggaruk kepala yang tidak gatal.

Semua ini gara-gara Jay. Seandainya saja dia tidak pernah menyapa, kami tidak berteman, aku tidak akan hadir dipenguburannya. Dan tak akan pernah berpikir betapa sepi kemungkinan akhir hidupku nanti. Jay betul-betul mengacaukan hidup tidak sempurnaku yang sebelumnya baik-baik saja.

Detak pelan membuatku berpaling. Pemilik penginapan meletakkan secangkir kopi. Aku tak sadar kapan dia meletakkan pisang goreng di meja. Aku bukan pecinta kopi. Bila ke warung kopi pesananku selalu sanger, kopi dengan sedikit susu dan gula. Tapi aroma wangi yang menguar harum dari cangkir itu terasa menenangkan.

Pemilik penginapan menyeret kursi lain lalu duduk. Tangannya meraih kacamata yang bertengger dihidungnya, lalu mulai menyeka dengan ujung polo shirt yang dikenakannya. Tambun, berkulit coklat, botak. Pakaiannya agak usang, tapi nyaman. Tidak ada satu pegawai pun yang mengenakan seragam, semua berpakaian santai.

“Tidak baik membuat seorang perempuan menangis.” Ujar pemilik penginapan. Dan ucapannya itu membuatku bingung. Sampai kemudian aku menyadari pandangannya beberapa kali mengarah ke belakangku. Aku berbalik. Reni berdiri disana. Jelas berusaha keras menghapus air matanya. Apa lagi ini?

Seorang pegawai perempuan mendekat dan membujuk Reni untuk duduk ke dalam. Aku duduk dengan kebingungan yang berlipat ganda.

“Bertengkar?”

Aku menatap pemilik penginapan, dan menggelengkan kepala. Demi Tuhan aku tidak tahu sebab Reni menangis, dan lebih membingungkan lagi, karena ketika membayangkan akibat dari kemarahan sesaat tadi, yang terpikir adalah berbagai versi tamatnya karirku. Tidak ada satu skenario pun yang melibatkan Reni menangis.

Tanpa sebab aku menjelaskan semua. Dari Jay dan ketakutan yang menderaku. Pikiran-pikiran yang kemudian terbentuk setelahnya, lalu kelelahan dan kemarahan yang menggerogoti benakku. Serta akhirnya, kejadian tadi.

Pemilik penginapan tidak langsung berkomentar. Dia terdiam cukup lama. Sebelum perlahan berucap, “Cerita yang cukup menyedihkan, dan lebih masuk akal. Gadis tadi terlalu cantik untuk kamu.”

Lalu dia tertawa terbahak-bahak. Seharusnya aku merasa terhina. Tapi setiap hal dari dirinya sama sekali tidak bernada merendahkan. Aku mulai terbawa dengan gelak tawa itu dan perlahan tersenyum sendiri. Pemilik penginapan tersenyum di ujung tawanya.

“Sebenarnya soal mati dalam kesepian, banyak orang lupa, kita pasti mati seorang diri.”

Kalimat yang diucapkan pemilik penginapan sederhana, tapi memukul kesadaranku.

“Tak peduli seberapa sedikit atau malah lautan manusia yang mengantarkan kita ke kubur, pada akhirnya kita akan sendiri. Itu pasti.” Pemilik penginapan menunjuk jendela kaca di samping kami, “Bagaimana kita menilai diri sendiri ketika hidup, itu sebenarnya lebih butuh dipikirkan.”

Aku melirik kaca, melihat pantulan dua orang bertubuh tambun. Dua orang yang tidak akan dianggap tampan oleh perusahaan model manapun. Tapi yang satu terlihat nyaman dengan dirinya. Sedangkan pantulan bayanganku adalah laki-laki tambun dengan muka lelah, dan -lebih menyakitkan lagi- kalah.

“Dicicipi, Arabica gayo. Langsung dari kebun sendiri di Dataran Tinggi Gayo.” Pemilik penginapan menggeser cangkir kopi lebih dekat ke arahku, lalu tertawa. “Saya penyuka kopi. Tapi tidak terlalu paham dengan segala urusan dunia kopi seperti teman-teman saya yang pecinta kopi.”

“Mereka begitu serius soal kecintaannya terhadap minuman ini. Punya standar yang luar biasa. Misalkan mengenai kualitas kopi arabica. Harus petik merah, diproses dengan standar yang bukan main, diroasting dengan presisi luar biasa. Bahkan buah merahnya pun punya standar merah yang khusus. Beda merah beda kelas.”

Aku teringat Yopie. Pecinta kopi garis keras. Kalau dilihatnya ada yang meminum kopi arabica speciality lalu menambahkan gula, pastilah orang itu dianggapnya menghina kopi. Dia menghabiskan akhir pekan dengan meracik berbagai jenis kopi kualitas terbaik. Tapi ketika satu waktu disajikan, aku hanya merasa pahit tanpa mengerti enaknya di mana. Karena tak ingin ribut, aku berpura-pura menikmati.

“Saya menghargai prinsip mereka, dan selama mereka tidak menghina prinsip saya, maka tidak ada masalah.” Pemilik penginapan tertawa sebelum melanjutkan ucapannya, “kalaupun mereka mencela, sebenarnya saya juga tidak perduli. Bukan dosa, dan Allah tidak akan bertanya soal bagaimana saya minum kopi ketika dalam kubur nanti. Bukan alasan untuk marahan karena hal seperti itu.”

“Kopi ini..” ujarnya lagi “..adalah minuman dengan cara menikmati yang sejujurnya sangat pribadi. Setiap orang punya kesukaannya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang sebenarnya berhak mencela selera orang. Secara industri bisa saja, tapi secara moral tidak ada satupun alasan kita mencela selera orang. Ada yang suka kopi pakai gula, ada yang pakai coklat, ada yang bahagia dengan kopi speciality tapi minumnya pakai susu. Ada yang penting punya aroma kopi, acuh soal harga atau prosesnya. Dan karena ini soal selera, sebenarnya tak ada yang salah. Bukan dosa.”

Dia memajukan tubuhnya ke depan lalu berucap pelan, “Yang terpenting adalah mereka menikmatinya dan merasa bahagia menikmati kopi kesukaannya itu.”

Aku terdiam. Manusia juga seharusnya begitu. Kita semua berbeda, dan urusan harga menghargai itu tak beda dengan soal menegaskan kopi pilihan kita. Tak perlu malu, bangga apa adanya. Karena yang terpenting adalah kita menikmatinya. Selama itu bukan pelanggaran hukum, budaya, dan bukan dosa.

Mengharapkan orang menghargai diriku, tapi di saat yang sama aku membiarkan orang memperlakukan aku seenaknya. Bagaimana mungkin penghargaan itu ada. Logika sederhana, dan aku lupa sama sekali soal itu.

Pemilik penginapan berdiri, menunjuk dengan dagunya lalu pergi. Aku berbalik dan melihat pak Yus dan Mitha.

“Katanya temanmu baru meninggal ya?” Pak Yus bertanya, ia melirik Mitha, dan membuatku teringat Mitha juga seorang blogger. Kami satu komunitas. Aku mengangguk pelan, bersyukur pak Yus menganggap soal Jay menjadi penyebab emosiku tadi.

“Lain kali kalau ada masalah, kamu ngomong dong.” Mitha berkomentar. “Jangan diam, terus mendadak... buum.”

“Maaf.” Aku menunduk, tak ingin terlihat terlalu lega.

“Yang kaget kan yang ini nih.” Mitha mengangkat alis, lalu menarik Reni yang berdiri di belakangnya. Pak Yus tertawa.

“Ya sudah, kalian selesaikan dulu urusan kalian. Aula sudah ditangani Azhar. Saya beri libur siang ini sampai sore nanti. Malam kita harus set presentasinya.”

Aku memperhatikan pak Yus dan Mitha menjauh. Lalu bingung menatap Reni. Berdiri berhadapan begini jelas membuatku gugup.

“Maaf...” Reni menunduk sambil menyusut air mata.

Aku berdehem, karena secara ajaib suaraku tak mau keluar. Lalu mengangkat bahu, berharap bisa diartikan sebagai tidak masalah oleh gadis itu.

“Jangan mendadak marah-marah lagi, Reni takut kamu begitu.” Ujarnya lagi, lalu menunduk makin dalam. “Kalaupun kamu mau marah-marah ke Reni, supaya Reni bisa bujuk kamu, dihalalkan dulu ya.”

Eh? Aku mendongak dengan cepat. Maksudnya?

Takengon, 19 Agustus 2016.



--oOo--


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
  1. Wah ceritanya gantung,,, buat penasaran kelanjutannya,,, benaran true story ne,,,? Hehehe

    ReplyDelete
  2. Hahaha iya cerita beneran...maksudnya beneran ini cuma cerita.

    Open ending namanya Yell. :D

    ReplyDelete

Start typing and press Enter to search