Tuesday, February 23, 2016

Maaf, Saya Tidak Tahu Saya Gila.


"Berarti dia gila." Komentar ibu itu sambil menggeser duduknya. Berusaha menciptakan jarak. Dan saya hanya bisa tersenyum pasrah. Waktu itu saya sedang diminta jadi pemateri di salah satu kegiatan komunitas. Ibu itu orang kesekian (yang jumlahnya cukup banyak) dengan reaksi sejenis.

Dan itu karena saya menyebutkan satu hal. Saya orang dengan gangguan kejiwaan.
Image source: pixabay

Suer deh. Jangankan anda yang baca, saya yang menuliskannya saja langsung membayangkan kata yang sama. Orang Gila. Dan itu adalah reaksi spontan dari rata-rata orang. Ada yang menunjukkan secara langsung, mempertegas dengan reaksi fisik seperti ekspresi muka dan gerak badan menjauh. Ada juga yang cukup sopan dengan berusaha menyembunyikan ekspresi wajah terkejut, atau tidak nyaman, dan bersikap senormal mungkin.

Tapi kata-kata 'Orang Gila' memang rata-rata hal yang paling cepat melintas dalam pikiran ketika mendengar atau membaca kalimat Orang Dengan Gangguan Jiwa. ODGJ, istilah yang sekarang digaungkan untuk memperbaiki pemahaman masyarakat mengenai gangguan jiwa.

Kok bisa ya? bisa jadi kita sendiri bertanya-tanya. Kenapa kalau mendengar atau membaca kata orang dengan gangguan jiwa, yang terbayang adalah orang gila.

Sederhana. Karena itu data terbayak yang kita simpan dalam ingatan kita. Data kolektif yang terkumpul dari proses mengingat secara bertahun-tahun. Dilakukan sadar ataupun tidak sadar.
Banyak yang lupa bahwa sebenarnya aksi dan reaksi kita dipengaruhi oleh pikiran (yang merupakan kumpulan berbagai data).

Selama bertahun-tahun kita mengumpulkan berbagai data. Dari pendengaran, penglihatan, pengalaman fisik maupun emosional. Dan selama itu pula kita terbiasa dengan 'input' data bahwa yang namanya gangguan kejiawaan adalah nama lain dari gila.

Umpamanya otak kita adalah kotak. Kemudian pikiran bahwa ODGJ tidak sama dengan gila, itu tomat. Sedangkan pemikiran sebaliknya, kita umpamakan dengan apel. Kita isi kotak itu dengan satu  dua tomat, lalu selebihnya apel. Puluhan, bahkan ratusan jumlahnya. Apel yang merah, hijau, kuning kemerahan, merah kehitaman, bermacam-macam sih tapi apel.

Lalu bayangkan ketika kita diminta mengambil apapun dalam kotak itu dengan cepat. Hampir pasti, yang kita ambil adalah apel. Pencarian dan Kata kunci. Hal yang sangat dipahami oleh para blogger hehehe.

Hal yang sama juga yang membuat saya 'rajin' menyuarakan untuk tidak mengubah akronim LGBT, Lesbian Gay Bisexual Transgender, dengan kepanjangan yang dibaik-baikkan. Alasannya jelas dan sederhana. Agar tidak membingungkan pikiran. Sehingga setiap kita mendengar kata LGBT kita tetap akan waspada. Kata LGBT akan selalu diasosiasikan dengan bahaya Predator Sexual, Predator Anak, 'penularan' gangguan pemikiran, gangguan orientasi sexual, dan tidak sesuai agama serta moral.

Saya menderita Obsessive Compulsive Disorder (OCD)

Tahun 2005, Joane, dokter asal Canada yang datang ke Aceh sebagai relawan kemanusiaan, pasca tsunami menerjang pesisir Aceh, yang pertama kali melihat gejala OCD dalam sikap saya. Joane melihat saya berulang kali memeriksa pintu sudah terkunci atau belum, melihat kompor di dapur sudah dimatikan atau belum, dan beberapa hal lainnya.

Joane awalnya mengangap itu bagian dari trauma setelah bencana. Tapi tidak butuh waktu lama untuk membuat dia mulai mengamati, dan akhirnya setelah 'ngobrol' panjang, dia dan dua orang rekan dokternya menyimpulkan hal yang sama. OCD.

Apa itu OCD silahkan baca di sini

Dan saya bersyukur yang mendignosanya itu Joane dan kawan-kawannya. Alih-alih menekankan itu sebagai gangguan kejiwaan, Joane dkk malah dengan santai memberi banyak informasi mengenai OCD.

Tidak ada kata gangguan kejiwaan yang dihamburkan berlebihan. Atau obat-obat anti depresan yang seperti diobral. Kebalikan dengan (maaf) sebagian praktisi kesehatan di negeri ini yang boros dengan kata itu. Sehingga membuat orang yang didiagnosis seperti  dibisikin berulang kali, gila lu. Yang ujungnya membuat orang itu merasa dia memang gila.

Padahal efek placebo membuktikan, ketika pikiran percaya pada satu hal pengaruhnya bisa sangat kuat. Disorientasi ringan bisa berujung menjadi berat, kecemasan yang semestinya bisa dikendalikan berubah jadi depresi regresif yang merusak kejiwaan.

Joane dkk, membombardir saya dengan informasi mengenai apa itu gangguan kejiwaan. Memperkenalkan dunia yang ternyata tidak sesempit kata Gila. Bagaimana yang namanya gangguan kejiwaan itu bisa terjadi dimana saja pada siapa saja, baik itu dibentuk sadar atau tidak sadar kerena kebiasaan.

Banyak tuh laki-laki yang mengalami perubahan perilaku sexual karena kebayakan nonton film porno. Atau jadi bergairah sama tokoh komik karena kebanyakan nonton one piece, film animasi jepang yang secara nyata menghadirkan banyak tokoh cewek yang didesain punya payudara super besar, atau pakai bikini super seksi yang tidak ada hubungannya dengan pertempuran bajak laut.
Dan itu juga masuk pada 'gangguan' lho.

OCD, dijelaskan dalam bentuk aslinya. Kondisi kesehatan yang tak jauh beda dengan darah tinggi, atau dispepsia yang merupakan nama keren dari sakit maag. Kondisi kesehatan jangka panjang, yang bisa ditangani, dijalani dengan normal.

Anda tentu tidak menganggap aneh ketika teman yang sakit maag, punya pola makan yang makan-sedikit-tapi-sering. Atau ketika kalian pada ngumpul makan gulai kambing, teman yang menderita darah tinggi memilih makan ikan goreng kering dengan lalap dan sambal terasi plus jus timun atau belimbing segi. Atau menganggap gila untuk orang yang menderita hipertensi, panu, atau mencukur gundul alis asli alami lalu membuat ulang dengan pinsil (meskipun menurut saya itu sebenarnya cukup gila hehehe)

Alih-alih meresepkan obat penenang, Joane malah mengajak saya untuk mencari cara mengambil alih kendali kecemasan. Dan itu yang saya jalani sampai sekarang. Saya melatih diri untuk mengenali apa faktor yang membuat saya cemas, lalu menghadapinya.

Saya mengunci pintu, memastikan kompor sudah mati lalu mengambil stick it notes dan menuliskan pintu/kompor sudah terkunci/dimatikan, menulis tanggal dan menandatanganinya, lalu tempel. Anda pasti bilang itu ribet, bikin repot. Mungkin anda perlu tahu rasanya menghabiskan waktu bolak-balik untuk melihat pintu atau kompor berulang-ulang. Stick it notes itu, jangkar ingatan untuk saya. Pikiran saya jadi punya pegangan jelas. Begitu juga hal-hal lain yang memicu cemas, saya mencari cara menciptakan jangkar dalam pikiran, pegangan untuk menghadapi kecemasan.

well, its work for me.

Tapi gimanapun ya. OCD saya terbilang ringan. Saya tetap anjurkan untuk berkonsultasi dengan praktisi kesehatan yang memiliki landasan ilmu cukup. Tidak saya anjurkan untuk bermain-main soal psikologis atau pikiran atau jiwa ini dengan berobat alternatif pada orang-orang yang baru belajar semingu atau sebulan lalu melabeli diri dengan gelar aneh-aneh dan panjang.

Jiwa atau pikiran itu seperti kertas. Kalau sempat tergores atau tercoret, dihapuspun masih ada bekasnya. Jangan main-mainlah, trauma psikologis atau luka mental yang terbentuk karena cara yang salah, apalagi kalau di bawah sadar, bisa fatal akibatnya.

Pelajari, cari cara. Yang terpenting adalah tawakal. Berusaha sekuat yang kita mampu, lalu berserah diri pada Allah. Karena di atas segala usaha, kalau Allah berkehendak, semuanya adalah mungkin.

Eh, trus ibu tadi gimana? Ya setelah dijelaskan sambil banyak bercanda, ibu itu senyum malah nepuk bahu saya. Apalagi saat saya bilang begini. "Maaf, saya tidak tahu saya gila. Tapi saya tahu saya tidak jelek, hanya kurang ganteng."




“Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Aku dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang diselenggarakan oleh Liza Fathia dan Si Tunis



  1. Baru sempat baca tulisan ini setelah sekian lama, semoga OCD nya tidak menganggu saat PP BNA takengen ya :)

    ReplyDelete

Start typing and press Enter to search