Thursday, January 31, 2013

the Facebook Swindler


Apakah Anda pernah mendengar tentang Harry Houdini? Nah, dia tidak seperti pesulap saat ini yang hanya tertarik pada peringkat dalam tayangan televisi. Dia adalah seniman. Dia bisa membuat gajah hilang di tengah sebuah teater penuh dengan orang, dan apakah Anda tahu bagaimana dia melakukan itu? Pengalihan Persepsi, apa yang dilihat mata dan didengar telinga, akan percayai oleh pikiran.
(Gabriel, diperankan oleh Jhon Travolta, dalam Film Swordfish, 2001)


Swordfish, film yang dimeriahkan oleh Jhon Travolta, Hugh Jackman, dan Hale Berry, mungkin bukan film 'hacker' yang terbaik soal unsur realita datanya. Tapi konsep pengalihan persepsi dalam film ini menarik untuk dicermati.

"Apa yang dilihat mata dan didengar telinga, akan dipercaya oleh pikiran." kata Gabriel, karakter antagonis yang diperankan Travolta. Dan itu adalah realita dalam kehidupan. 

Meskipun ungkapan don't judge a book, by its cover, sudah sering disampaikan, kecenderungan untuk menilai berdasarkan apa yang terlihat itu sangat besar. kita bisa dengan cepat merasa simpati pada orang yang terlihat ramah, tidak mengancam, dan menarik. atau sebaliknya, dengan cepat menurunkan tameng ketika lawan bicara kita adalah seorang yang terasa mengancam.

Sejak media jejaring sosial mengalami kebangkitan pasca munculnya Facebook, angka kejahatan dengan menggunakan jejaring sosial juga meningkat. sudah sering kita baca, tentang seorang gadis yang menghilang, lari dari rumah, atau orang yang tertipu menyalurkan dana pada seseorang yang baru dikenalnya di Facebook. Pada kasus yang berbeda, seorang laki-laki memutuskan meninggalkan istrinya setelah 'kopi darat' dengan teman Twitternya. kasus lain yang hampir serupa, seorang istri di singapore kedapatan selingkuh dan menuntut cerai karena merasa bahwa tambatan hati yang sebenarnya adalah teman wanitanya, yang menjadi tempat curhat onlinenya di Facebook. 

Beberapa waktu lalu saya menonton sebuah tayangan televisi, Asian Swindlers. Kisah tentang para penipu yang begitu luar biasa, bahkan seorang dari mereka, Huang Cao-kang, berhasil menipu beberapa nama besar di Taiwan, termasuk mantan presiden Taiwan. Tayangan unik ini juga menjabarkan bagaimana para swindlers ini meraih kesuksesannya. sebuah wawasan dahsyat tentang perilaku manusia dan pola pikir.

Semua keberhasilan itu adalah sebuah kemampuan pengalihan persepsi, sehingga mampu meraih kepercayaan targetnya.

Dalam dunia jejaring sosial, dan dunia maya, ada satu hal yang sebenarnya sering kita lupakan. Bahwa di dunia maya, daya tarik terbesarnya selain luasnya jaringan, adalah kesempatan untuk menjadi pribadi berbeda.

Seorang yang berpenampilan tidak menarik, bisa mencitrakan dirinya sebaliknya. Dengan cara yang sangat sederhana, mengupload foto profil diri atau mengisi album foto onlinenya dengan sosok yang menarik. Sebegitu sederhananya.

Anonymitas (semoga saya ga salah tulis ) adalah sesuatu yang ditawarkan di dunia maya. Anda selalu punya kesempatan untuk menjadi orang lain.

Usai menyaksikan tayangan Asian Swindlers itu, saya mulai tertarik melihat-lihat laman jejaring sosial, terutama Facebook. Tentunya dengan menggunakan sedikit 'ilmu' dari tayangan itu. Dan saya mendapat beberapa hal menarik.

Para Facebook Swindlers ini, terutama yang bukan 'ahli', ternyata bisa dikenali. Meskipun agak sulit, ada beberapa hal yang bisa kita jadikan pegangan:

1. Mereka cenderung tidak memiliki foto dengan kehidupan sosial yang nyata. Rata-rata foto yang mereka upload adalah foto seseorang, biasanya akan diakui sebagai dirinya, tidak jarang foto yang sama diupload terus menerus dgn beberapa variasi. Foto yang melibatkan orang lain atau menunjukkan atifitas sosial, atau kehidupan sehari2, sangat terbatas atau tidak ada. 
Ini berbeda dengan orang yang tertutup. Orang yang tertutup, masih memiliki bukti aktifitas kehidupan nyata, namun hanya memberikan akses pada orang tertentu saja.

2. Sering mengupload foto tempat atau benda yang mengesankan kesuksesan, namun jarang terdapat keberadaan mereka di dalam foto, karena salah satu target mereka adalah mendapatkan perhatian dari orang lain yang mereka incar. Kesan sukses membuat mereka tidak dicurigai sehingga mereka bisa masuk dalam kehidupan pribadi orang yang mereka incar dengan aman.

3. Biasanya suka menambahkan data tentang tempat pendidikan yang berkelas, namun tidak memiliki teman atau jaringan yang sesuai dengan data itu. Misalnya, mencantumkan U.I - Univ. Indonesia, angkatan sekian sebagai data. Namun tidak ada teman yg berasal dari angkatan itu, atau dari universitas itu, kalaupun ada satu dua orang, biasanya tidak ada percakapan atau bertukar informasi soal  teman atau event dimasa lalu ataupun sekarang, temu alumni misalnya, atau kejadian dikampus.

4. Mencantumkan tempat kerja yg hebat. Namun lagi-lagi tidak terdapat jaringan, teman, atau rekan yang bekerja ditempat yang sama, kalaupun ada umumnya terlihat seperti direkayasa, atau akun yang dibuat sendiri, terlihat dari minimnya aktifitas dan teman.

5. Tidak ada foto, atau tag dari almamater, dan tempat kerja.

6. Terkadang untuk menciptakan kesan sukses, mereka memberi kesan sedang bekerja atau menempuh pendidikan di luar negeri, malaysia, singapore, atau eropa. Namun 'ajaibnya' tidak ada satupun teman yang berkomentar atau berbicara dengan bahasa negara itu.

7. Umumnya akan dengan sangat cepat, tanpa terlalu membuka diri tentang identitas mereka, paling-paling hanya memberikan nomor telepon (yang sangat mudah untuk diperoleh saat ini), mereka akan melakukan pendekatan yang biasanya berdasarkan simpati/empati. Misalnya menyatakan cinta, atau menjadi pahlawan yang siap mendukung, selalu membenarkan. Jangan lupa, modusnya adalah memenangkan perhatian.

... begitulah kurang lebih.

Source. Getty Images
Dunia maya, memang bukan dunia nyata, sehingga banyak hal yang tidak bisa terjadi di dunia nyata, berpeluang muncul disini. Bagaimanapun, bukan berarti dunia maya adalah sesuatu harus dihindari. Jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Blog, memiliki banyak nilai positif.

Saya membuktikannya sendiri. Ketika gempa beberapa waktu lalu terjadi di Aceh, informasi mengenai gempa beredar jauh lebih cepat di jejaring sosial. Ketika New York lumpuh akibat hantaman badai beberapa waktu lalu pun, seorang petugas media dari salah satu kantor pemadam kebakaran mengatakan bahwa penggunaan twitter sebagai sarana komunikasi sangat membantu. terlebih ketika saat itu jaringan groundline seperti telpon terganggu (atau tingginya panggilan ke 911, nomor darurat di U.S, membuat jaringan tak berfungsi).

Seperti sebuah pistol, jejaring sosial memiliki manfaat atau bahaya, ditentukan oleh penggunanya, dan tujuan penggunaannya.

Satu fakta yang sering enggan diakui, sebenarnya para Online Swindlers ini, berhasil adalah karena kurangnya empati atau komunikasi dan dukungan bagi orang-orang disekitar kita. Manusia semakin individual, tak perduli lagi pada tetangga, kerabat atau temannya. Sehingga ketika seseorang jatuh, dan membutuhkan dukungan, namun ia tak menemukannya, maka ia akan mencari di jejaring sosial. Saat itulah mereka rentan dengan tipuan.
Suka tidak suka, jargon yang sering diungkapkan mengenai media jejaring sosial, seperti Facebok, 'Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.' adalah kenyataan. Saya sering melihat beberapa orang yang duduk semeja di cafe atau kedai kopi, namun sibuk dengan laman/akun jejaring sosial mereka. Malah pernah saya menyaksikan ada yang mengetahui bahwa temannya, yang duduk disebelahnya sedang sakit, ketika ia membuka laman Facebook. Ironis.



Semoga salam dan ukhuwah terajut kembali dengan manis. :)
  1. Wah, mantap. bikin pengen nonton filmnya :)

    ReplyDelete
  2. :) secara realita dunia enkripsi data, hacker di film ini agak ga realistis, but over all ini film bagus

    ReplyDelete

Start typing and press Enter to search