Friday, September 2, 2016

Menulis Bukan Sekadar Menyusun Kata.

Menulis Bukan Sekadar Menyusun Kata.

Merasa jenuh menulis. Ada banyak yang ingin dituliskan, namun ketika berhadapan dengan laptop -- atau jendela new post di blog -- kata yang sudah bergumpal mendadak kaku mengeras dan macet. Tersangkut dalam pikiran yang tanpa sebab mati suri.

Lain waktu, karena mendengar kisah nan insipratif dari para penulis motivator inspirator karburator, yang mencerahkan hati dan jiwa raga, dengan anjuran indah cerdas mempesona, agar selalu membawa-bawa buku catatan.

Tuliskan saja, kata mereka. Ketika kelebat ide itu melintas, tuliskan. Jangan ditunda-tunda, tumpahkan segala kata demi kata menjadi kalimat. Nasihat indah dan menawan. Tidak sia-sia mereka menempuh pendidikan bertahun-tahun, mengoleksi beragam buku dengan nama penulis yang menyebutkannya saja butuh ilmu atau alamat salah sebut, serta terkilir lidah.

Dan yang terjadi ...
Termenung memandangi buku catatan yang isinya selalu hanya satu dua kalimat, bahkan ada helai yang berisi hanya satu kata. Atau untuk versi berbeda, termenung sebab tak tahu macam mana cara membaca berhelai-helai tulisan yang sudah dibuat. Kalau bukan karena terlalu banyak tanda panah kesana-sini, maka tak lain adalah sebab terpesona melihat kemampuan tersembunyi dalam diri, yang ternyata bisa menulis dengan aksara kuno, sayangnya bakat itu tak muncul ketika hendak dibaca, hingga tercenunglah memandangi helai demi helai.

Entah dengan dirimu, tapi aku sejak lama punya cita-cita ingin menjadi penulis. Terlebih sejak anak belitong bernama Andrea Hirata berhasil mengguncang dunia, keyakinan bahwa siapapun bisa jadi menulis semakin mengakar.

Tapi menulis tak semudah yang diceritakan. Bukan hanya butuh ide, konsep, alur, kerangka karangan, data, alat, dan kelapangan waktu. Kenyataan yang kutemukan adalah semua itu hanya keping-keping tanpa makna. Tak lain itu serupa macam preman yang garang bertato, gondrong, dan bergigi lapis kawat warna merah muda. Satu hal saja yang salah, hilang semua lagi rusak 'efek' nya.

Menulis adalah satu pekerjaan berat. Ide boleh sempurna, alur boleh menawan, jalan cerita mempesona, alat dan waktu tersedia, tapi ketika kekuatan hati (dan diri) untuk tekun duduk berjam-jam, berhari-hari, menuliskan kata demi kata, menata ulang, menyusun, dipandang dari jauh, didekati untuk lebih jelas, dibaca berulang-ulang, besedia menampik godaan duduk cantik di warung kopi, tak ada dalam diri, maka hanya akan menghasilkan lembar-lembar setengah jadi. Bergunung banyaknya, tapi tak ada yang utuh.

Menulis butuh kekuatan, juga butuh hati yang melekat ke dalam 'pekerjaan' ini. Bukan soal seberapa banyak tulisan yang bisa dihasilkan semata, tapi juga soal nilai tulisan itu. Ketika menulis hanya sekedar ada, sekedar keahlian menyusun kata sehingga terlihat indah, dan tak jarang hanya sekedar retorika untuk menyembunyikan ketiadaan makna, maka tulisan yang dihasilkan juga sekedar ada. Hadir sekejab, lalu hilang.

Dan masih saja, ada manusia di hamparan bumi ini yang berkata, siapapun bisa jadi penulis. Tapi bukan salah juga, karena dunia belum menciptakan istilah untuk para penyusun kata kosong itu, selain politisi. Dan sayangnya itu bidang berbeda.



  1. Jadi kapan naskah novel merdeka itu di kirim.ke penerbit?? Hihihi

    ReplyDelete
  2. Udah, tapi dgn kondisi skrg, sepertinya ga bakalan terbit dalam waktu dekat. Ber'hahaha'ya :D

    ReplyDelete
  3. semangat bang, karena menulis adalah mendokumentasikan keabadian di atas kertas.

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Start typing and press Enter to search