Friday, November 27, 2015

Tarian Kabut Pagi


Saya selalu suka dengan kabut di pagi hari. Rasanya seperti mimpi yang menjadi nyata, ketika garis hidup membawa saya menjadi penghuni dataran tinggi Gayo. Jauh tinggi di puncak pegunungan, dikelilingi hutan yang sebagian masih belum pernah terjamah manusia. Sebagian lagi adalah deretan berbagai kebun.

Perkebunan kopi mungkin yang paling dikenal. Tapi masih sangat banyak lainnya. Perkebunan jeruk dengan mitos uniknya, jeruk manis yang secara misterius menjadi asam bila dibawa turun melintasi pegunungan, meninggalkan dataran tinggi. Perkebunan tomat, yang ketika panen berlimpah kadang diacuhkan oleh pemiliknya, karena harga tak seimbang dgn usaha. Dan banyak perkebunan lainnya, sangat banyak.

Di lereng pegunungan, pohon cemara, pendatang dalam masyarakat hutan, katanya dibawa oleh penjajah Belanda dulu, dan bertahan sampai sekarang. Sama seperti sifat buruk para penjajah yang entah bagaimana masih bertahan dalam jiwa sebagian penghuni negeri yang semestinya hebat di sabuk khatulistuwa ini.

Ah, ya. Kabut. Saya sedang menuliskan tentang kabut.

Kabut yang putih seperti awan turun ke bumi. Lahir dan besar di pesisir pantai, kabut adalah hal yang langka untuk bisa ditemukan. Tapi sejak pertama kali berkunjung ke dataran tinggi Gayo di tahun 1996 (atau 1997, saya lupa), saya jatuh cinta pada kabut yang bergulung-gulung. Memberi komposisi mempesona ketika mengisi celah antara lapisan bukit dan gunung. Memberi rasa yang berbeda ketika membungkus lanskap kampung ditengah kota yang sehari-hari biasa saja.

Kabut seolah menjadi gerbang dimensi. Berdiri di tengahnya dipagi hari, melihat jalan, bangunan, segala disekitar terselimuti warna putih seperti awan yang semakin jauh semakin pekat, sensasinya nyaris seperti berada di wilayah mitologi. Ada nuansa mistis di dalamnya.

Tapi kabut juga memberi rasa sunyi yang secara aneh menyenangkan. Ada pemikiran yang menyusup dalam benak tanpa bisa dicegah, seolah saya berada disebuah dunia yang terpisah. Saya, sendiri, sunyi, bahkan suara yang terdengar samar pun memiliki nuansa kesunyian. Momen tanpa nama ini biasanya terjadi hanya sekedar beberapa belas detik, dan untuk sekian detik itu, ada dunia dalam kabut yang hanya ada saya di dalamnya.

Kabut yang bergerak pelan, bergulung. Menyelimuti bangun dan bentuk lainnya. Sesekali nakal bercanda membuka memperlihatkan pucuk gunung tinggi jauh di garis horizon, lalu bergulung pelan dengan lembut menutup diri. Tarian kabut pagi, dan disitu saya, kabut dan imajinasi menari dalm pikiran. Tanpa gerak, diam menikmati.

Tidak pernah sekalipun saya bayangkan, bahwa ketika saya pulang ke pesisir, ketika saya melepas rindu pada samudera, gelombang yang membiru dengan pucuk putihnya, debur ombak, pasir pantai, asinnya aroma garam, menikmati cinta sejati lautan pada pantai yang setia dari awal ombak pertama bergulung hingga akhir zaman nanti, saya merasakan rindu pada kabut pagi.

Rindu yang terselip dalam sudut hati. Untuk tarian kabut pagi, di gunung tinggi.

Start typing and press Enter to search