Tuesday, July 7, 2015

Mahar (Part.2)

Source : http://www.postgoldforcash.com/


Tulisan ini, dengan penyesuaian, dimuat di majalah Warta Unsyiah, Edisi Juni, 2015.
Dengan judul: Mahar Tinggi Harga Mati ?

(Bagian 2 dari 2 tulisan)




Memberanikan diri bertanya pada orang-orang tua, saya menemukan filosofi menarik dibalik kewajiban mahar emas itu.

Yang pertama adalah mengapa emas?

Jawabannya sangat sederhana. Keyakinan dalam bentuk kearifan lokal, bahwa emas adalah perhiasan yang harganya cenderung naik, dan sangat mudah diuangkan dengan nilai jual yang tidak merugikan. Pasangan yang baru menikah tentu memiliki berbagai kondisi yang sering diluar perhitungan, apalagi bila menyangkut nafkah dan kebutuhan mendesak seperti biaya persalinan atau modal usaha. Mahar yang diberikan kepada pengantin, sejatinya adalah milik utuh pengantin tanpa bisa diganggu gugat. Meskipun saat sekarang ini, ada sebagian daerah yang mulai menerapkan aturan sebagian dari mahar digunakan untuk ‘membayar’ isi kamar. Biasanya karena pengantin mendapat kamar yang sudah dilengkapi perabotnya. Dari tempat tidur hingga lemari. Biaya isi kamar itu ditanggung bersama antara keluarga dan pasangan pengantin. Walaupun setahu saya, hal ini umumnya tidak terjadi pada pasangan pengantin dengan mahar tinggi.

Kedua mengapa kewajiban mahar emas ini dilakukan?

Hampir semua jawaban yang saya dapat dari orang-orang tua kita, bernada sama. Sebagai ujian kesiapan. Mungkin seperti fit and proper test saat ini. Karena budaya mahar ini sudah berlangsung turun temurun, maka kesiapan seorang pemuda tentunya mudah diukur secara umum melalui persiapannya untuk pernikahan. Emas memang semakin mahal, namun bila sejak awal memang berniat mempersiapkan ‘modal’ untuk pernikahan, menabung dan mencicil mahar sejak awal, bukanlah hal yang sulit. Bila mau menghitung besaran dana bulanan yang dihabiskan untuk ngopi, pulsa untuk hp, rokok, angkanya sering sekali fantastis.

Dan memang, sering sekali kisah ‘protes’ muncul dari mereka yang mungkin baru mempersiapkan pernikahan disaat-saat terakhir. Hal yang jarang ditemukan pada mereka yang sejak belum menemukan tambatan hatinya, sudah mempersiapkan diri.

Mereka yang sejak mula merencakan pernikahan dan kehidupan setelahnya, cenderung menyadari bahwa mahar sebenarnya adalah modal cadangan yang mereka sediakan sendiri untuk masa depan istri, dan pada kasus tertentu, masa depan keluarga. Satu ‘simpanan dana’ darurat. Bila dirinya meninggal dunia maka istri tidak ditinggalkan begitu saja tanpa bantuan dana, untuk kebutuhan mendesak bila ada hal medis yang diluar perhitungan, untuk modal usaha bila ternyata mendadak diberhentikan dari kantor, atau tak kunjung jadi pegawai negeri. Ada banyak fungsi dana cadangan yang sebenarnya melekat pada mahar, bukan sekedar hadiah pernikahan. Karena memang benar, bagi seorang laki-laki harta istri adalah harta istri, sedangkan harta suami adalah harta bersama. Tapi pernikahan semestinya juga menjadi tanggung jawab bersama.

Ketiga, nilai besaran mahar.

Sebenarnya mahar saat ini normalnya berkisar pada 10-15 mayam. Rata-rata pada sepuluh mayam. Dan sebenarnya mahar itu bukan harga mati, ada unsur penyesuaian. Tapi polemik yang muncul saat ini adalah pada angka mahar yang melambung tinggi.

Ada dua sebab. Satu, sebagai penolakan. Dalam adat Aceh, menolak lamaran secara terbuka adalah hal yang sangat tabu. Maka angka yang tinggi akan sangat dipahami sebagai penolakan halus. Cukuplah dimengerti secara tersirat oleh kedua pihak, tanpa perlu melibatkan kata ‘tidak’. Halus, efektif dan sebenarnya sangat elegan. Pihak yang menolak bisa menyampaikan penolakannya, pihak yang ditolak juga tidak akan perlu merasa dihina.

Yang kedua, berkaitan dengan apa yang didapatkan setelah pernikahan. Hal menarik yang saya temukan, angka mahar yang tinggi umumnya diberikan bila ternyata setelah pernikahan, pengantin akan memiliki keterlibatan pada aset yang tinggi juga. Misalnya setelah menikah, akan menjadi bagian dari jaring usaha keluarga yang memiliki nilai tinggi. Umumnya pula, hal ini terjadi dikalangan keluarga pengusaha, baik di industri hulu, maupun hilir. Pemilik lahan pertanian besar, kebun kopi yang luas, atau keluarga pengusaha lokal namun memiliki aset bisnis dengan putaran tinggi.

Selain unsur mewaspadai dan mencegah yang meminta putri dari keluarga mereka hanyalah orang yang ingin menumpang dan mengeruk perekonomian keluarga. Juga berkaitan dengan uji kelayakan pada pola pikir calon menantu keluarga. Umumnya mereka yang memiliki perencanaan baik adalah mereka yang juga memiliki naluri yang baik dalam menjalankan usaha. Uji kelayakan, yang sebenarnya wajar saja, namun sering dipermasalahkan semata karena ego.

Apakah mahar tinggi harga mati? Sebenarnya tidak.

Hal ketiga yang saya dapatkan soal mahar tinggi, adalah uji keteguhan. Bila sebelumnya soal perencanaan. Ini soal kesiapan memperjuangkan dan pengenalan karakter. Alhamdulillah, Allah memberikan saya beberapa kesempatan menemukan dan mengalami sendiri menjadi pendamping bagi beberapa teman yang dalam prosesnya berhadapan dengan standar keluarga calon yang menetapkan mahar tinggi.

Namun melalui berbagai silaturrahim, jumpa dan percakapan, dialog dan pembelajaran, penyesuaian terjadi. Bukan soal strata pendidikan. Namun sebenarnya orang tua mencari sikap yang santun, baik dan berwawasan. Laki-laki yang akan menerima tanggung jawab kehidupan putri mereka, dan penerus keluarga.Laki-laki yang bisa memberikan perasaan aman. Dan ketika kepercayaan juga hati orang tua sudah dimenangkan, tenang dan yakin mereka bahwa putrinya akan diserahkan pada laki-laki yang baik, angka mahar pun bisa disesuaikan.

Bila kita mau jujur, sering sekali permasalahan budaya, dihadapai dengan emosi tanpa pemahaman ilmu dan kearifan lokal yang memadai. Sering sekali kita membenturkan budaya timur kita dengan konsep barat yang hanya dilihat sepintas. Mengutip sisi mudahnya budaya barat, namun mengesampingkan sisi negatifnya. Bahkan tak jarang kita hanya melihat secuil sikap yang disangka sudah seluruh tata sosial mereka. Seperti mudahnya menikah di barat, yang ternyata menghasilkan mudahnya perpisahan. Sering kita yang muda hanya melihat tayangan di televisi dan contoh semu di film. Padahal budaya ala Hollywood itu, bukan budaya utuh mereka. Padahal keluarga-keluarga di barat sana juga menginginkan dan menerapkan berbagai uji sebelum menikahkan anak mereka.

Nah, disinilah kita kadang perlu merenungi kembali. Budaya kita, sistem yang dibangun oleh pengalaman dan manifestasi kearifan lokal ratusan tahun, sebenarnya sudah kita pahami atau belum. Atau mungin kita hanya latah mencela, tanpa memahami. Dan bilapun ada kesalahan bukankah ada banyak cara cerdas untuk memperbaikinya, secara bertahap, karena sesuatu yang sudah berakar dalam, tak mungkin dirubah dalam satu gebrakan.

Selamat menempuh hidup baru, kehidupan yang lebih cerdas dan santun. Semoga kita menjadi bagian dari generasi yang membangkitkan kembali kejayaan dan kebaikan.


  1. terimakasih ilmunya mas semoga menjadi pelajaran buat nanti aku kalo nikah hehehe

    ReplyDelete
  2. iya bang.. dan yang paling yudi setujui adalah, yang mengkomplain harga mahar pasangannya tinggi., sebenarnya dia itu tidak serius untuk menikah dan tidak serius dalam berusaha. I`m Sorry to say that!
    tapi bukan ingin menyombongkan diri, yudi menikah dengan mahar yang terbilang cukup tinggi di kalangan kita orang aceh bang. tapi Alhamdulillah... walaupun sampai sekarang masih kere, keluarga istri masih yakin ama yudi klo yudi masih mampu menafkahi anaknya hihihi

    ReplyDelete

Start typing and press Enter to search