Tuesday, July 7, 2015

Mahar (Part. 1)

Source: http://bestengagementrings.info


Tulisan ini, dengan penyesuaian, dimuat di majalah Warta Unsyiah, Edisi Juni, 2015.
Dengan judul: Mahar Tinggi Harga Mati ?

(Bagian 1 dari 2 tulisan)




Dalam setiap ritual budaya anak bangsa dan berbagai suku, di seluruh penjuru dunia. Ritual pernikahan adalah salah satu ritual yang terpenting. Tercatat dan terdokumentasi dengan baik, beberapa kebudayaan melengkapi ritual pernikahan dengan tugas, ujian, atau bahkan tantangan.

Dalam kebudayaan china, secara tradisi, mempelai pria harus melakukan ritual khusus dipagi hari jelang pernikahannya, termasuk di dalamnya tugas atau permintaan yang disyaratkan keluarga mempelai wanita. Pernikahan china modern bahkan mewajibkan mempelai berganti pakaian tiga kali, kombinasi antara budaya china dan barat.

Di Korea, pagi, sehari setelah pernikahan, kedua mempelai wajib mendatangi mertua. Kedatangan mereka akan disambut dengan lemparan garam, bumbu, dan buah. Semuanya harus diusahakan bisa disambut dengan menggunakan kain yang dibawa oleh kedua mempelai. Simbolisasi dan pengharapan untuk menangkap keberkahan di masa depan.

Ada beberapa daerah yang masih mewajibkan uji kekuatan fisik. Ada yang mensyaratkan benda tertentu. Bahkan kabarnya dibeberapa wilayah eropa masih ada kebiasaan tradisional menjawab bantingan gelas atau piring dari rumah tetangga, tentunya dengan membanting gelas atau piring juga.

Kebudayaan kita di Aceh cukup beragam, dipengaruhi oleh berbagai suku dan bangsa yang menjadi bagian dari sejarah kebudayaan Aceh, dan kombinasinya tentu menghadirkan banyak keunikan. Di beberapa daerah, ada kebiasaan berbalas pantun atau syair, ketika prosesi Intat Linto. Meskipun sudah jarang dilakukan sekarang ini, tapi ketika saya masih kanak-kanak, pertarungan ‘pantun/syair’ ini selalu menjadi tontonan. Mempelai pria belum diperbolehkan memasuki rumah sebelum pihaknya bisa mengalahkan syair dari keluarga mempelai wanita.

Yang paling menderita disini, bukan mempelainya. Tapi para pendamping yang memegangi talam hantaran. Yang kebagian memengang talam berisi kain tentu tak pusing, tapi bila talamnya berisi meusekat, dhodoi, atau wajik[1], yang satu talam beratnya bisa sampai pada kisaran 5-8 kg, tentu bukan hal yang menyenangkan.

Akhir-akhir ini, adat pernikahan Aceh kembali disoroti. Bukan dari kalangan orang tua, karena bagi para orang tua kita, adat itu mestilah dihormati dan dimuliakan. Kritik dan ‘cela’ justru bermunculan dari kalangan mudanya.

Titik yang menjadi sorotan beragam. Ada yang membicarakan mengenai Intat Linto[2] dan Tueng Dara Baro[3]. Ada yang membahas soal hantaran yang dibeberapa daerah diwajibkan membawa tebu dan kelapa yang sudah bertunas, atau soal isi lain hantaran. Umumnya memang yang dipermasalahkan oleh generasi muda era digital, adalah adat budaya yang --menurut mereka--tidak praktis dan membuang waktu serta biaya.

Dari semua hal itu, titik yang paling sering dikritik, meskipun tidak pernah secara terang-terangan, apalagi ketika berhadapan dengan calon mertua, adalah soal mas kawin, mahar.

Budaya Aceh, mensyaratkan mahar berupa perhiasan emas. Satuan yang dipergunakan adalah mayam, sekitar 3,3 gram untuk 1 mayam. Beberapa saat yang lalu, sebuah tabel yang masih dipertanyakan validasi datanya bahkan memuat besaran mahar emas, dibagi atas daerah, dan type[4], dengan sebaran angka berkisar dari 10 mayam sampai 40 mayam.

Tabel yang beredar luas di sosial media ini sempat menghadirkan kritik dan cela yang cukup besar dari beberapa netizen terhadap budaya Aceh yang dianggap mempersulit pernikahan.

Sebagai putra Aceh kewajiban mahar ini jelas bukan hal baru. Kebiasaan dan budaya yang sudah ada sejak lama. Sehingga saya pribadi merasa sangat aneh bila ada anak muda Aceh yang terkejut-kejut dengan soal mahar emas.

Memberanikan diri bertanya pada orang-orang tua, saya menemukan filosofi menarik di balik kewajiban mahar emas itu.

Yang pertama adalah mengapa emas?

(Bersambung ke part.2 )


Catatan :

[1] Penganan tradisional (Peunajoh istilah lain dalam bahasa Aceh). Bagian wajib dalam hantaran pernikahan. Bahan bakunyanya tepung, atau ketan. Ukiran dan tampilannya sedikit banyak mempengaruhi penilaian secara sosial.

[2] Prosesi mengantar mempelai pria ke rumah keluarga mempelai wanita.

[3] Prosesi menerima mempelai wanita di kediaman keluarga mempelai pria.

[4] Masih belum mendapat kejelasan makna type A, B, C di tabel itu apa. Apakah kondisi ekonomi keluarga mempelai wanita, apakah tingkatan pendidikan, atau malah soal kecantikan dan usia.
  1. yang komplain berarti cintanya tak sungguh2 kepada cutnyak :D

    #ditimpukamajomblo :))

    ReplyDelete

Start typing and press Enter to search