Wednesday, July 10, 2013

Tarawih Pertama Ramadhan Ini, Kenangan di Kelantan, dan Backing Vokal Yang Tak Kompak


"Dicobanya untuk mendekati Masjid itu, subhanallah, seperti ada magnit yang memendekkan langkahnya untuk tiba. Mungkin di sana ada kebahagiaan. Terlihatlah sebuah pemandangan yang meluluhlantakan kegelisahannya selama ini. “Rasanya seluruh otakku tiba-tiba dipenuhi oleh kekaguman. Dan entah kenapa, aku seperti mendapatkan ketenangan melihat orang-orang ruku, sujud dalam kekhusuan,” “Bukankah apa yang kulakukan selama ini untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenapa tidak? Ya, aku telah bergelut dengan kesalahan dan tetek bengeknya yang semuanya adalah dosa. Benarkah Allah tidak akan mengampuni dosaku? Lantas buat apa aku hidup jika jelas-jelas bergelimang dalam ketidakbahagiaan.” Pikiran itu terus bergelayut seakan haus jawaban. -- Gito Rolies, dalam sebuah artikel di Dakwatuna


Malam tadi tarawih pertama di ramadhan ini. Tak seperti tahun kemarin, hujan turun, seolah ingin mendinginkan hati setiap hamba Illahi, agar menjalanan ramadhan ini dengan keteduhan. Peusijuk*, ujar seorang teman di status FB.

Adat lazim di kampung kelahiran istri, pergi ke mesjid untuk shalat dengan memakai baju kemeja atau koko, dan pasti mengenakan sarung. Tak masalah memang bila mengenakan celana panjang, biasanya juga bila ke mesjid saya bercelana panjang. Tapi rasanya beda kali ini. Ada keinginan untuk tak tampil beda.

Menyambut ramadhan tahun ini, memang dari sejak sya'ban sudah ada rasa yang lain. Semacam impian dan harapan agar ramadhan kali ini lebih berasa. Sudah dua tahun ramadhan seperti kehilangan getarnya. Hanya berjalan melakukan ibadah, melakukan rutinitas seolah hanya menggugurkan kewajiban saja. Walaupun tak diungkapkan, ada perasaan kurang dan kosong.
Ramadhan ini saya ingin lebih menikmatinya. Saya ingin ada perubahan, lebih terasa keimanan dan peningkatan kualitas diri sebagai seorang muslim. Terlebih ketika beberapa minggu lalu membaca kisah hidup  Gito Rolies, rocker yang menutup usia dengan senyum tenang setelah menjalani hari-hari indah sebagai seorang aktivis dakwah. Kalimat perseteruan hati ustadz Gito, membekas dalam hati. Saya menjalani kehidupan sebagai orang yg juga bergiat dalam dakwah, walaupun belum pantas dipanggil ustadz, mencoba hidup jujur, anti korupsi, walaupun hidup jadi pas-pasan dan sering menunduk ketika dikejar hutang usaha yang bangkrut. Saya ingin bahagia juga dalam Islam yang indah ini.

Teringat pada salah satu konsep dalam proses motivasi yang pernah saya pelajari, perubahan itu dimulai dengan memberi rasa yang berbeda. Walau tak sadar banyak wanita yang patah hati menerapkan konsep ini, potong rambut misalnya, atau ganti gaya busana. Saya memilih mencoba berkain sarung, saat tarawih.

Mesjid Al-Sultan Ismail Petra, Kota Bharu, Kelantan, Malaysia
Mengenakan baju koko yang dipakai 5 tahun silam saat menikah, bersarung, walaupun masih mengenakan celana panjang dibaliknya. Dan suara hujan mendadak keras, mengabarkan semakin derasnya. Mendadak saya teringat Kelantan. Tepatnya daerah Kubang Kerian, Kota Bharu, ibu kota Kelantan, Malaysia.
Sudah 13 tahun silam. Berbaju melayu, dengan celana 'pancung' sebetis, memakai kain sarung, yang dilipat di tengahnya, lalu dikaitkan ke ikatan sarung di pinggang. Sekilas seperti versi melayu dari kilt, rok tradisional scotlandia. Berlari menjinjit melintasi kebun rambutan Cikgu Din, Makcik Maryah, memintas jalan menuju  Masjid Al-Sultan Ismail Petra. Juga kebiasaan mencari ayam percik untuk berbuka puasa.

Malam tadi saya seperti mengulang kembali, berlari menuju mesjid, namun kali ini ditambahi dengan bertudung mantel hujan.

Tarawih pertama ramadhan ini lebih berasa. Penampilan yang memang sengaja dikhususkan untuk pergi shalat. Senyum senang (dan sedikit geli) dari istri tercinta, plus tawa anak-anak kami yang tak biasa melihat ayahnya berkain sarung.
Tapi sedikit terganggu kenyamanan saat shalat adalah karena perilaku seorang 'backing vokal'. Seperti lazimnya shalat tarawih di Aceh, tarawih dikerjakan dengan dua rakaat sekali salam. Lalu dilanjutkan lagi dengan repetisi yang sama. Diantaranya, dilantunkan shalawat nabi dan do'a. Dipimpin oleh imam atau oleh tengku (ustadz) yang diberi amanah untuk tugas itu. Jama'ah mengaminkan.
Suasana kusyuk jadi terganggu, karena seorang jama'ah yang mengucapkan Aamiin, selalu kecepatan beberapa detik.

Ah, ibadah memang mesti dengan hati, dengan kesabaran, namun juga karena kita berjama'ah, menyelaraskan dengan yang lainnya juga sama penting.

Hanya tinggal 29 hari lagi, jangan sia-siakan ramadhan ini.

Banda Aceh, 2 Ramadhan 1434 H


* Budaya tradisional Aceh, beberapa teman dari luar Aceh menyebutnya 'tepung tawar'. Budaya ini bagian dari ritual yang masih dipengaruhi oleh konsep budaya Hindu, agama yang berkembang pada zaman sebelum Islammasuk ke Aceh. Umumnya memiliki tujuan untuk simbolisasi, mendamaikan, mendinginkan hati, memberikan harapan kenyamanan.
  1. Lain lubuk, lain ikannya
    lain tempat, lain pula kebiasannya kyaknya..

    Salam knal :-)
    visit: http://homehay.wordpress.com

    ReplyDelete

Start typing and press Enter to search