Tuesday, September 1, 2020

Bu Tedjo dan Cara Kita Melihat Dunia




Membaca 'kabar' pemeran bu Tedjo di bully oleh Netizen, saya jadi tersenyum sendiri. Apalagi ketika kemudian ada netizen yang mencela sesama netizen dengan komentar sinis "...netizen ples enam dua memang masih belum cerdas. Film dan kenyataan ga bisa dibedakan."

Komentar yang justru jauh dari cerdas. Kenapa? Karena di seluruh dunia, selalu ada kelompok warganet yang pola pikirnya begitu. Campur aduk, sulit dimengerti, fanatisme minded (abaikan kalau penulisannnya salah, ini bukan karya ilmiah). Dan yang lebih seru lagi, itu tidak ada hubungannya dengan tingkat pendidikan.


Jauh sebelum Siti 'Bu Tedjo' Fauziah di bully oleh sekelompok netizen. Dunia hiburan Indonesia pernah mengenal sosok legendaris Bu Subangun. Tokoh antagonis dalam sinetron Keluarga Rahmad yang tayang di TVRI sekitar akhir 80an. Waktu itu belum ada internet. Protokol IP saja baru dibuat tahun '82, dan worldwide web baru akan dikenalkan ke publik oleh CERN pada 1991.


Thenzara Zadit, pemeran Bu Subangun, juga mengalami hal serupa, dicela dan dibenci penonton. Bahkan kabarnya pernah mendapat serangan fisik saat sedang belanja. Begitu juga dengan sosok legendaris spesialis peran antagonis, Leli Sagita. Yang dibenci penonton, sampai dalam kehidupan nyata. Saya kurang suka sinetron-sinetron paska munculnya TV Swasta. Beda dengan sinetron TVRI yang biasanya punya pesan mendalam. Selain Keluarga Cemara, rasanya nyaris tidak ada sinetron berkualitas lebih dari sekadar hiburan. Tapi karena penasaran, saya googling, teringat satu nama yang juga legendaris. Dinda Kanya 'Miska' Dewi. Dan ternyata sama. Pemeran Miska di Cinta Fitri -- tayang perdana 9 April 2007 -- itu juga pernah diserang penonton, verbal dan fisik.


Satu sisi, bagi saya itu 'penghargaan' pada akting mereka, yang begitu baiknya sampai penonton lupa itu hanya sebuah sinetron. Tayangan hiburan di televisi.


Di sisi lain, itu adalah bukti pahit betapa kita sering menjalani hidup dalam lingkaran persepsi, sampai kehilangan pikiran yang logis. Sering kita terjebak dalam persepsi sendiri sehingga kemudian menumbuhkan kebencian.


Mario Teguh, dianggap sebagai sosok yang selalu positif dan inspiratif. Hingga ketika kemudian kenyataan bahwa kehidupan pribadinya tidak sebaik citra positif yang diperkenalkan ke penonton, cukup banyak yang mendadak benci.

Dinamika politik juga menerapkan hal serupa. Tokoh yang diagungg-agungkan, saat masih sehaluan politik, mendadak dijadikan musuh ketika berbeda arah politik. Kualitas pemikiran, gagasan, diabaikan. Bahkan kalau perlu dijatuhkan. Kenapa? Persepsi. Cara pandang yang berubah. Biasanya, karena faktor kepentingan.


Persepsi juga yang membuat seorang selebritis, yang memutuskan berhijab, tiba-tiba dimusuhi oleh sebagian penggemarnya. Kenapa? Hasil dari pembentukan persepsi bahwa Islam dan terorisme adalah bagian tak terpisahkan. Padahal rata-rata agama selalu ada kelompok fanatik yang meyebar teror dengan alasan agama, yang sebenarnya justru pemikiran mereka sendiri dan bertentangan dengan agama.


Persepsi, cara pandang, cara berpikir. Baik yang logis dan benar, maupun produk hasil doktrin pemikiran yang jauh dari objektif dan hanya untuk mengendalikan kepentingan. Apapun itu, membentuk cara kita memandang dunia.


Melihat kekuatan persepsi, dan kondisi dunia saat ini, sepertinya pengalaman Bu Tedjo bisa dijadikan pengingat. Tentang wawasan apa yang kita masukkan dalam kepala kita. Tontonan apa yang kita tonton. Bacaan apa yang kita baca. Musik apa yang kita dengarkan. Karena semua akan membentuk data dalam pikiran kita. Data yang memengaruhi cara kita menilai.

Post a Comment

Start typing and press Enter to search