Monday, June 11, 2012

Malam Minggu


Malam minggu, satu malam sebelum malam kemarin. Langit masih bertopeng awan gelap, angin masih membadai yang menderu dari pesisir Aceh. Menunggangi motor jadi pekerjaan berat, karena kolaborasi menyeimbangkan badan, mengatur laju kecepatan, dan kalibrasi otomatis bungkukan tubuh melengkung diatas jok terhadap gerakan arus angin yang mengila arahnya.

Malam minggu, diperempatan jalan dua gadis mengobral bentuk tubuh, bangga dengan pakaian yang ketat lagi tipis, dan dengan kejudesan dibalut kesan seolah sang ratu mencela dua remaja tanggung yang -- mungkin, sedang dalam masa penyeimbangan hormon -- curi melirik sambil menggoda. Tertunduk dengan muka jengah, malu karena hati terbuai, mungkin disangkanya baju mengundang itu tanda memanggil lawan jenis agar suka, tapi salakan dan hardik yang didapat. Ah, yang satu tak punya malu berbaju tapi telanjang, yang lain tak punya pilihan selain menahan malu karena terpicu hasrat.

Malam minggu, cafe tampilkan kehidupan ala kota besar dengan musik mendentum, orang-orang yang kaya atau yang merasa kaya mengelompok dalam lingkaran penuh cerita. 57 cafe semua penuh sesak, dan 8 mesjid yang ku lewati sepanjang jalan dari rumah ramai dipenuhi malaikat dan segelintir manusia. Dimesjid ke-8, dihalamannnya motor yang lelah kuparkir, menjemput janji jumpa dengan beberapa teman dan seorang guru, malam itu kami bahas tentang bekerja untuk manusia atau bekerja untuk Illahi. Ayat dan hadits berlarian liar dalam kepala, sebahagian besar pasti hilang sepanjang jalan pulang, namun paling tidak ada yg teringat. Lebih baik dari pada tak ada.
Gambar hanya untuk ilustrasi saja
Source : Boston.com

Malam minggu, cafe masih saja ramai. gelak tawa, mobil berjajar. Disebuah lorong seorang anak membantu bapaknya, hari ini barang bekas plastik lumayan banyak. Dipilahnya dengan ceria, besok akan membeli seragam sekolah ujar bapak dan anak itu gembira. Aku duduk, seperti malam-malam lain ketika sebungkus nasi goreng yang kubawa, disantap dua kakak beradik itu dengan ceria. Satu sudah akan berseragam biru putih, satu lagi akan naik kelas lima SD. Kutatap gelas belimbing yang diangsurkan ibu mereka, senyumnya gembira mengiringi tanganku menerima ulurannya. Milo malam ini. Alhamdulillah, artinya ada rejeki lebih mereka, karena kalau tak cukup beras, tak mungkin milo ini ada.

Malam minggu ini, melintas dari satu sudut kota, menuju sudut yang lain. Sepanjang lintasan jalan, yang berhias lampu kuning, putih atau warna-warni dibelakang selusur pegangan jembatan. Sepanjang lintasan jalan, yang dihias garis putih putus-putus, atau dibeberapa tempat, ada bulatan kaca tertanam diwajah aspal memantulkan cahaya lampu kendaraan.

Malam minggu ini, gelak gembira anak si Bapak pengumpul barang bekas yang anti mengemis, yang bergayut dilengan ibunya dengan mata yang mulai mengantuk. Menemani putaran roda menuju hunian tempat berlabuh. Dalam benak, rindu pada istri terkasih dan anak-anak tercinta, menemani malam hingga pagi datang. Rindu yang berlanjut hingga malam lagi, dijeda saat-saat ketika sejenak bercakap dengan perantara teknologi, dijeda ketika sejenak bisa mendengar suara dan celoteh cinta, mereka yang terkasih.

Malam minggu ini, mulai menghitung hari jam menit detik, menunggu saat jumpa.

Malam minggu, ada cerita dalam ribuan warna, karena hidup memang tak lagi hitam putih saja. Meski masih tetap hati yang menentukan, warna apa yang akan kita genggam.

Post a Comment

Start typing and press Enter to search