Monday, March 2, 2015

Dulu Kita Bangga

Saya lahir di akhir tahun tujuh puluhan. Tepat dipertengahan tahun 1979. Periode yang istimewa. Karena kami generasi peralihan. Generasi yang sempat merasakan perubahan besar dalam kehidupan. Kami generasi evolusi peradaban. Generasi evolusi gaya hidup. Generasi analog terakhir, dan generasi digital pertama.

Saya sempat merasakan ketika permainan tradisional atau permainan lokal semacam patok lele[1], galah panjang, batalion tin, main godok, dan banyak lagi permainan lainnya, perlahan mulai tergusur dengan permainan generasi baru. Awalnya dari Atari, spica, nintendo, dingdong di pasar, gameboy, hingga ke play station.

Perubahan adalah dunia yang kami generasi awal delapan puluhan rasakan. Hal rutin dalam hidup kami. Ketika berbagai benda baru dan teknologi canggih muncul dan mempengaruhi kehidupan. Hal yang semula keren berubah menjadi ketinggalan zaman. Siklus tanpa henti. Dunia kami adalah dunia yang melompat-lompat.

Salah satu yang paling membekas, adalah cerita dari kakek saya. Tentang presiden republik Indonesia yang pertama. Soekarno. Dua cerita yang bertolak belakang. Kenyataan yang tidak akan ditemukan dalam buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah.

Source Picture: ayokeaceh.wordpress.com/
Presiden Soekarno datang ke Banda Aceh. Tahunnya saya tidak pasti. Tapi karena ketika itu kakek saya masih muda, dan ayah saya masih remaja, maka kisaran waktunya adalah tahun 50’an. Rakyat berdesakan memenuhi jalan, menunggu mobil satu dari dwi tunggal, proklamator bangsa, melintas di jalan yang belum lagi beraspal. Bukan semata soal yang datang itu presiden. Tapi saat itu hiburan sangat minim. Jadi bila sekelas tukang obat yang menjual semacam tepung entah apa, yang katanya bisa menyembuhkan dari panu sampai penangkal angin duduk[2], bisa jadi tontonan satu kampung. Apalagi bila yang datang itu presiden.

Tumpah ruah warga. Memenuhi jalananan, berlari dibelakang mobil presiden. Hingga ke tempat yang disediakan untuk mendengarkan pidato sang pemimpin bangsa itu. Panggung kayu bertingkat, yang bergoyang tapi ajaibnya tak ambruk menampung sekian banyak orang.

Disekeliling, orang menaiki atap rumah. Berdesakan di jendela lantai dua rumah atu toko diseputaran lapangan itu. Mengintip dibalik pagar tinggi. Bahkan bergantungan memenuhi cabang pohon-pohon besar yang saat itu masih banyak. Semuanya hadir untuk datang melihat dan mendengar Soekarno berbicara. Dan terkesima.

Sunyi. Semua terpesona. Susunan kata terpilih. Suara yang menggelegar pada saat yang tepat, lalu melembut pada saat yang lebih tepat lagi. Yang berdiri ditengah podium itu bukan cuma politisi, tapi juga seniman kata yang luar biasa. Gerak tubuhnya, matanya yang melihat kedepan dengan semangat menyala, tangannya yang terancung kedepan menunjuk langit. Dan dipuncaknya ketika ia meneriakkan merdeka.

Khalayak ramai mengila dalam gelora semangat. Yang tak tahu apa-apa, juga ikut latah meneriakkan merdeka. Semua larut dalam gelora kebanggaan dan kecintaan pada negeri yang baru lahir ini, membuncah di jiwa rata-rata warga negeri.

Kemerdekaan memang masih baru, pemberontakan masih ada dimana-mana. Tapi rata-rata, hampir semua, merasakan bangga melihat presiden kita berdiri tak jauh dari rakyatnya.

Meskipun cerita kedua dari kakek membuat saya merasa sedih. Karena itu cerita penghianatan. Janji yang diingkari. Karena sang presiden, datang memohon bantuan. Dengan merendahkan kepala menunduk meminta dukungan dari pemimpin rakyat Aceh. Yang dijawab dengan gempita oleh rakyat Aceh.

Saat itu ibu-ibu meloloskan gelang ditangan, cincin dijemari, giwang diujung telinga, kalung dileher, bahkan berlari pulang membuka lemari dan mengambil perhiasan emas. Mengumpulkan emas dengan penuh bahagia, demi negara. Dan kelak akan menjadi pesawat Dakota, pesawat kenegaraan pertama di negeri yang baru lahir, pesawat yang menyandang RI-1.

Seperti saya tuliskan sebelumnya, cerita kedua ini cerita sedih. Karena alih-alih memenuhi janji. Sang presiden malah melebur Aceh menjadi satu dengan Sumatera Utara. Menghempaskan rakyat Aceh, dan memicu pemberontakan. Meski kelak Aceh dianugerahi Daerah Istimewa, tapi sejak pemberontakan pertama meletus, Aceh tak pernah damai, darah dan kehancuran terus mewarnai wajah ujung barat Indonesia ini.

Sisi pahit yang sering disembunyikan dalam sejarah.

Meskipun begitu, dulu, ada masa ketika kita bangga dengan presiden kita. Ketika kita bangga dengan negeri kita. Ketika kita bangga menjadi Indonesia.

Tapi sekarang. Bangsa ini diambang kehancuran. Presiden kehilangan wibawa. Rakyat terpecah saling antara saling caci, saling benci, hingga ke mereka yang tak lagi mau perduli. Yang penting masih bisa hidup dan makan, meskipun menjerit dalam hati karena hidup sepertinya semakin sulit.

Yang satu mencela yang lain. Fanatisme buta. Ada yang bela partai, ada yang serang partai. Logika hilang. Tak perduli pada fakta. Tak perduli dengan kenyataan. Yang penting membela, tak soal mana yang salah, mana yang benar. Lupa pada solusi baik.

Seolah hasil alam negeri ini yang dicuri asing, tak bisa kita rebut lagi, padahal sebenarnya ada cara. Seolah bangsa ini hanya skumpulan orang bodoh, hanya gara-gara ketika orang cerdas jadi pejabat negara, sebahagian dari mereka mendadak tak cerdas lagi[3]. Seolah ketika tim bola kaki kita yang sebenarnya hebat, tapi kalah gara-gara kelelahan akibat kebanyakan tanding persahabatan, maka punahlah prestasi bangsa. Padahal ada tim bulu tangkis yang menanjak naik, ada anak muda yang menang penghargaan internasional dibidang sains.

Dulu kita pernah bangga dengan bangsa ini. Tapi sekarang, kita adalah bagian dari generasi yang dengan suka cita mencari keburukan, acuh pada kebaikan dan potensi. Kita umbar semuanya kemana-mana, sehingga akhirnya kita bingung sendiri, sepertinya tak ada yang baik lagi di bangsa ini. Maka bencilah kita, lalu akhirnya menyerah dan tak perduli.

Sebenarnya, kawan. Saya tak tahu apa yang anda inginkan. Tapi jujur saja bukan hal seperti sekarang ini yang saya inginkan.

Saya ingin bisa bangga, berdiri menatap dunia. Sambil menunjuk hamparan negeri kaya hasil alam, sambil menunjuk prestasi anak bangsa. Lalu dengan lebih bangga lagi bicara, sambil pelan menepuk dada.

" Saya orang Indonesia, dan saya bangga menjadi Indonesia." [4]



[1] Salah satu nama permainan tradisional, nama bisa berbeda diberbagai daerah. Nama ini, seperti kami menyebutnya di Aceh. sebatang kayu kecil diletakkan mendatar dalam lubang melintang diats kayu yang lebih panjang, lalu dicungkil atau dipukul dengan kayu pemukul yang lebih panjang lagi, kemudian dihitung nilainya berdasarkan jarak ke lubang, semakin jauh semakin bagus.

[2] Sebutan untuk Serangan Jantung, jangan tanya kenapa itu sebutannya.
[3] Untung hanya sebahagian.
[4] Dan kami bukan bangsa bodoh peminta-minta, apalagi teroris.
  1. Ada nama band #EfekRumahKaca judulnya "Menjadi Indonesia". Silakan di pajang (mungkin) untuk estetika Blog ini :)

    ReplyDelete

Start typing and press Enter to search